TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Angkutan Darat DKI Jakarta menilai penyedia jasa transportasi berbasis online, seperti Grab Car dan Uber, yang sudah memiliki payung hukum di Indonesia dianggap belum cukup.
"Mereka tetap harus mengikuti aturan yang ada. Akta koperasi sudah keluar juga belum cukup," kata Shafruhan Sinungan, Ketua Organda DKI Jakarta, kepada Tempo, Ahad, 20 Maret 2016.
Menurut Shafruhan, perusahaan Grab dan Uber harus mengurus izin pengelola dan operasional angkutan umum ke pemerintah DKI Jakarta. "Kalau itu tidak ada, tetap saja tidak sah," ujarnya.
Shafruhan mengatakan kedua perusahaan asing tersebut juga harus mengubah surat izin usaha sebagai perusahaan angkutan umum bila ingin mendapatkan izin operasional. Sebab, kata dia, semua badan hukum wajib mengikuti peraturan supaya tidak berbenturan.
Selain soal pengurusan kir, Shafruhan menyebutkan, persoalan tarif tidak bisa ditentukan sendiri. "Menentukan tarif sendiri itu ilegal, yang legal adalah ditentukan pemerintah," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pihaknya juga tidak menyalahkan aplikasi yang digunakan untuk memesan kendaraan. Awalnya, kata dia, Grab sudah tepat menyediakan layanan Grab Taxi, yang bermitra dengan taksi Express. Namun, setelah kemunculan Uber, Grab kemudian mengeluarkan layanan Grab Car.
"Kami tidak menyalahkan teknologi informasi. Yang jadi persoalan itu adalah IT ditemplokin ke kendaraan pribadi. Kalau ditemplokin angkutan umum, tidak jadi masalah," tuturnya.
Adapun pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Ali Brawi, mengatakan pemerintah mesti memperbarui aturan transportasi, yang bisa menyesuaikan perkembangan zaman. Apalagi, saat ini, pemesanan teknologi transportasi secara online berkembang sangat pesat.
"Aturan transportasi harus diubah agar perdebatan seperti taksi Uber dan konvensional bisa cepat selesai. Sebab, itu bukan Al-Quran atau Bibel, yang tidak bisa diubah," kata Ali, Minggu, 20 Maret 2016.
Ia mengatakan konsumen saat ini mencari transportasi yang efisien dan teknologi yang terbaik. Untuk itu, peraturan transportasi sudah mesti diubah sesuai dengan kebutuhan. Sebab, ada permintaan dari konsumen untuk menuntut dan memilih transportasi yang efisien, berbasis teknologi, dan cepat.
"Pengusaha harus mampu mengkalibrasi market bila mau bersaing. Uber tidak bisa dibendung karena permintaan konsumen," tuturnya.
Meski begitu, ojek online dan taksi online harus tetap mengikuti peraturan pemerintah. Untuk itu, dia berujar, pemerintah harus mempersiapkan regulasi untuk semuanya. "Pemain lama juga harus mengikuti perkembangan teknologi. Sebab, konsumen yang mencari," ucapnya.
Lebih jauh ia menuturkan pemerintah juga mesti mencari titik optimasi dan keamanan transportasi umum. Soalnya, selama ini, pemerintah belum bisa memastikan keamanan transportasi umum. Terlebih, keamanan transportasi berbasis online.
Selain itu, transportasi online yang sekarang berkembang harus mengikuti aturan pemerintah, seperti membayar pajak, izin kelayakan transportasi atau kir, dan trayek. Sebab, bila tidak ada aturan umum untuk transportasi online dan konvensional, masalah tidak akan pernah selesai. "Harus dalam satu aturan umum. Baik aturan dari kelayakan jalan maupun asuransi. Pertemukan semua pihak. Pemerintah, operator, dan pengguna."
Selain itu, dia berujar, pemerintah harus mengutamakan angkutan umum berbasis rel, yang nyaman dan efisien. "Lebih baik mengutamakan transportasi berbasis rel," katanya.
FRISKI RIANA | IMAM HAMDI