TEMPO.CO, Depok - Satuan Polisi Pamong Praja Kota Depok merobohkan 48 bangunan liar di Jalan Raya Keadilan, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kecamatan Pancoranmas, Depok, Rabu, 23 Maret 2016. Bangunan yang diratakan itu terdiri atas 38 bangunan permanen dan sepuluh tenda semipermanen milik pedagang kaki lima.
Kepala Satpol PP Kota Depok Nina Suzana mengatakan para pedagang sudah mendirikan bangunan permanen sejak 15 tahun lalu. Pihaknya sudah memberikan surat peringatan sebanyak empat kali kepada mereka untuk mengosongkan bangunan liar yang berdiri di tanah milik negara.
"Prosedur sudah kami jalani. Sekarang kami bongkar bangunan liar di jalan sepanjang 2 kilometer untuk mengamankan aset milik pemerintah," ucapnya.
Selain membongkar bangunan, Satpol PP dibantu satuan tugas banjir membongkar puluhan jembatan liar yang dibangun di Anak Kali Cabang Barat. Puluhan jembatan tersebut dibangun warga secara pribadi, yang menyebabkan kali banjir karena tersumbat sampah yang menyangkut di jembatan.
Pemerintah bakal membangun taman di jalan tersebut. Para ketua RT/RW akan dipanggil untuk membantu mengawasi agar tidak ada lagi pedagang yang berjualan di jalan itu.
"RT dan RW kami panggil untuk mengawasi. Jangan sampai mereka memberi jalan untuk pedagang berjualan di sana," ujarnya.
Setelah di Jalan Keadilan, Satpol PP bakal membersihkan bangunan liar di Jalan Juanda, Raya Bogor, dan Raya Citayam. Sebab, baru separuh jalan itu yang sudah ditertibkan. "Kami tidak ingin ada bangunan liar di sepanjang jalan," tuturnya.
Untuk pedagang kaki lima di kawasan Margonda, pihaknya sedang membangun sistem agar pengusaha yang mempunyai ruko atau usaha lain bisa menampung para pedagang kaki lima. Kerja sama ini, kata dia, bakal membantu para pedagang masuk area ruko atau tempat usaha yang sudah berizin di kawasan tersebut.
"PKL Margonda sudah sampai SP2. Nantinya akan dibangun kerja sama kemitraan dengan toko-toko dan usaha yang sudah permanen," ucapnya.
Salah seorang warga, Aceng, 46 tahun, berujar, bangunan liar di Jalan Keadilan memang cukup mengganggu dan terlihat kumuh. Warga di sekitar bangunan liar tidak mempunyai hak mengusir karena pemilik bangunan itu menyewa kepada orang lain. "Rata-rata sewanya sebesar Rp 4-5 juta kepada sesepuh kampung," tuturnya.
Pemilik warung sate, Sarba, 55 tahun, hanya bisa pasrah melihat bangunan semipermanennya dirobohkan. Ia mengatakan bangunannya berdiri di tanah milik negara. "Ya, saya terima saja dibongkar," ujarnya.
IMAM HAMDI