TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok menilai wajar jika banyak pemilih partai politik yang mendukungnya. Sebanyak 51,9 persen pemilih Partai Gerindra misalnya, diperkirakan memilih Ahok. "Jadi sebenarnya bukan soal parpol atau apa, orang kan sudah makin pinter, pilih orangnya," kata Ahok di kantor Gubernur DKI Jakarta, Kamis, 31 Maret 2016.
Dalam hasil survei Charta Politika yang dilakukan dari 15 hingga 20 Maret 2016 ini, Ahok unggul dalam hal elektabilitas. Bila dibandingkan dengan nama lainnya, elektabilitas Ahok memang cukup tinggi, yakni sekitar 51,8 persen. Apabila disandingkan dengan Yusril Ihza Mahendra secara head to head elektabilitas Ahok sebesar 59,5 persen, sementara Yusril hanya 20,5 persen.
Meski partai yang menyatakan mendukung Ahok baru Partai Hanura dan Partai NasDem, suara pemilih partai lain banyak yang mengalir ke Ahok. Partai Gerindra yang sejauh ini menyatakan tidak akan mendukung Ahok pun, sebagian besar pemilihnya menyatakan akan memberikan suara untuk Ahok.
Suara lainnya, Yusril Ihza Mahendra untuk 15,4 persen, Sandiaga Uno untuk 5,8 persen, Hidayat Nur Wahid untuk 3,8 persen, Adhyaksa Dault untuk 3,8 persen, calon lain 7,7 persen, dan 5,8 persen tidak menjawab.
Hal serupa pun terjadi di tubuh PDIP. Sebesar 67,5 persen pemilih PDIP menyatakan dukungannya kepada Ahok. Sisanya mengalir untuk Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebesar 14,3 persen, Yusril 3,9 persen, Abraham Lunggana 2,6 persen, Hidayat Nur Wahid 1,3 persen, dan sisanya 10,4 persen tidak menjawab.
Ahok mengatakan anomali ini memang sudah terjadi sejak pemilihan kepala daerah sebelumnya, yakni pada 2012. Pada pilkada saat itu, Joko Widodo dan Ahok maju sebagai pemenang. Padahal mereka hanya diusung PDIP dan Partai Gerindra. Sementara partai lainnya memilih mendukung Fauzi Bowo. "Kami sudah buktikan waktu kami calon 2012, pemilih Gerindra dan PDIP kecil sekali. Pak Foke menggabungkan semua partai, toh kalah juga kan," ujarnya.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI