TEMPO.CO, Bekasi - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi akan membahas pengawasan terhadap penggalian utilitas oleh pemerintah daerah setempat. Aturan ini dianggap penting guna memastikan badan usaha selaku pemilik proyek mengembalikan kondisi galian kembali seperti kondisi semula.
"Rancangan peraturan masih dibahas Panitia Khusus 9," kata anggota Panitia Khusus 9 pada DPRD Kota Bekasi, Dariyanto, Ahad 1 Mei 2016. Aturan ini bakal berlaku pula bagi badan usaha seperti Perusahaan Daerah Air Minum, Pipa Gas Negara, PT PLN (Persero) maupun PT Telkom.
Nantinya, kata Dariyanto, perusahaan maupun kontraktor yang menggali diwajibkan membuat bank garansi. "Dalam peraturan akan ditentukan nilai bank garansi," kata Dariyanto. Pemerintah daerah kemudian bisa menggunakan bank garansi itu apabila badan usaha maupun kontraktor tak memenuhi kewajiban mengembalikan kondisi lahan galian seperti semula.
Menurut Dariyanto, ketentuan ini hendak diatur lantaran banyak ditemukan bekas galian yang tak dikembalikan seperti semula di trotoar maupun di bahu jalan. Padahal pemerintah daerah membutuhkan dana tak sedikit ketika membangun trotoar maupun bahu jalan itu. "Kalaupun dikembalikan, tak sesuai spesifikasi awal," kata dia.
Kajian mengenai aturan ini ditargetkan selesai dalam dua bulan ke depan. Hasil kajian dituangkan dalam bentuk rancangan peraturan daerah tentang pengawasan dan galian utilitas. "Target tahun ini bisa disahkan di Paripurna untuk menjadi peraturan," kata politisi Partai Golkar ini.
Kewajiban bank garansi selama ini tak secara spesifik diaturan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Peraturan Nomor 20/PRT/M/2010 mengenai pedoman pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan memang memuat kewajiban kontraktor, selaku pelaksana proyek, untuk mengembalikan bekas galian utilitas kepada kondisi semula.
Persoalannya, ketika proyek selesai dan sudah diserah-terimakan ke pemilik atau provider, namun kondisi galian belum sesuai spesifikasi awal. "Kami pernah komplain, tapi pemilik provider lepas tanggung jawab," kata Kepala Bidang Perencanaan pada Dinas Tata Kota Bekasi, Erwin Gwinda.
Erwin menganggap pemerintah daerah sudah selayaknya mempunyai peraturan pengawasan dan galian utilitas. Aturan ini akan menjadi dasar hukum yang kuat manakala pemerintah daerah menemukan bekas galian yang tidak dikembalikan seperti semula. Selama ini kata Erwin, pemerintah tak bisa berbuat banyak ketika menemukan bekas galian yang tak dikembalikan sesuai spesifikasi. Sebabnya, pemilik proyek mengaku telah menyerahkan sepenuhnya pengerjaan proyek galian utilitas kepada kontraktor.
Erwin berharap peraturan daerah yang dibuat saling mengaitkan antara pemilik proyek galian dan kontraktor. Dengan begitu, ujar dia, kedua pihak bisa sama-sama bertanggung jawab terhadap penggalian yang sudah dilakukan di daerha. "Misalnya dana di bank garansi ditanggung oleh keduanya," ujar Erwin.
Ihwal nilai bank garansi, Erwin menyerahkan sepenuhnya kepada pihak legislatif. Asalkan, nilai dana bisa mengembalikan bekas galian sesuai spesifikasi awal pemerintah daerah. "Galian pasti akan terus ada," kata Erwin.
Kota Bekasi sejauh ini baru menyelesaikan pembagunan satu titik saluran utilitas di Jalan KH Noer Alie. Saluran itu menampung instalasi kabel dan pipa. Utilitas tersebut dibuat di jalur pedestrian sepanjang sekitar 3 kilometer, dari Jalan Ahmad Yani hingga perbatasan Jakarta Timur di Sumber Artha. Namun belum semua badan usaha mau menggunakan utilitas tersebut.
(Baca: Ternyata Bekasi Tak Punya Sarana Utilitas, Akibatnya...)
Seorang pegawai kontraktor pemasangan pipa milik PGN di Jalan Juanda, Bekasi Timur, Habib, berjanji mengembalikan kondisi galian seperti semula apabila pemasangan pipa sudah selesai. "Kalau saluran, ya dikembalikan ke saluran, termasuk trotoar, dan bahu jalan," kata Habib.
Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Bekasi Kota, Komisaris Bayu Pratama mengakui adanya sejumlah galian di jalan menganggu arus lalu lintas, soalnya terjadi penyempitan jalan. "Otomastis membuat titik kemacetan baru," kata Bayu.
Karena itu, ia meminta setiap penggalian dikoordinasikan baik oleh pemerintah daerah, pusat, maupun pihak kontraktor. Dengan begitu, kepolisian bisa memberi masukan. Selama ini kebanyakan galian memakan tempat. Sementara pemerintah kerap melempar tanggung jawab, apabila ada komplain. "Tidak efisien, sementara jalan yang ada semakin sempit," kata Bayu.
ADI WARSONO