TEMPO.CO, Jakarta - Kampung Nelayan Muara Angke riuh, Sabtu malam, 30 April 2016. Malam itu mereka disuguhkan layar tancap. Tapi kali ini yang disuguhkan bukan film-film di bioskop melainkan film dokumenter berjudul Rayuan Pulau Palsu.
Sesekali suara teriakan dari anak-anak di Kampung Nelayan, Muara Angke, Jakarta Utara itu terdengar tiap tokoh yang muncul dalam film itu mereka kenali. "Sejak tahun enam puluh lima (1965) saya sudah menjadi nelayan," kata Ilyas, dalam film itu.
Kakek 67 tahun ini tinggal di tepi laut Muara Angke. Ia sehari-hari melaut di Teluk Jakarta. Ilyas mengeluh karena sejak ada proyek reklamasi, pendapatannya menurun. Air laut juga tak sebening dulu, kini kecoklatan bercampur lumpur.
Film berdurasi satu jam ini merekam persoalan reklamasi Teluk Jakarta. Dimulai dari suasana pelelangan ikan di Muara Angke, pasar olahan ikan, hingga kehidupan nelayan sebelum dan sesudah dibangun reklamasi.
"Kalau dulu saya sampai berantem cari ikan di sini, nelayan berebut lokasi," kata dia saat berlayar sekitar 1 mil dari pelabuhan. Setiap kali melaut sehari-semalam, Ilyas dulu membawa 20 kilogram ikan. Namun, ia kini hanya mendapat dua ekor ikan gabus, beratnya sekitar 2 kilogram.
Film ini juga membeberkan rancangan hunian ala Pluit City yang diiklankan di YouTube. Lalu, cuplikan para nelayan yang berdemo di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta. Ada pula kasus tolak reklamasi yang dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Klimaksnya saat Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi dan bos Agung Podomoro Land sebagai tersangka dugaan suap peraturan reklamasi.
Bimo Rizky Nuryadin, salah satu penonton, mengatakan senang melihat film ini. "Apalagi bagian segel pulaunya," kata anak 12 tahun ini. Kakeknya adalah nelayan. Bimo suka tinggal di Muara Angke, ia tak ingin digusur ke tempat lain.
Sutradara Rayuan Pulau Palsu, Rudi Purwo Saputro, mengatakan film ini dibuat sekitar 2,5 bulan. Rudi adalah kamerawan di komunitas film Watch Doc. Ia ditantang menggarap film ini oleh para pendiri Watch Doc. "Awalnya kami riset tentang reklamasi, lalu wawancara dengan warga untuk mendapatkan cerita dari mereka."
Menurut Rudi, sebetulnya film sudah selesai saat penangkapan Mohamad Sanusi, eks politikus Partai Gerindra yang menjadi tersangka suap reklamasi. Tetapi, mereka harus memasukkan cuplikan itu di dalam film.
Produser film ini, Randy Hernando, juga tak menyangka Sanusi bakal ditangkap KPK sehubungan dengan reklamasi. "Kami sudah punya gambaran mau bikin apa, tapi model film ini cinema verite yang bercerita, jadi kami kumpulkan dulu bahannya baru kami susun."
Ia menjelaskan, judul Rayuan Pulau Palsu sebenarnya adalah plesetan dari Rayuan Pulau Kelapa. Kata 'rayuan' juga berhubungan dengan kasus dugaan korupsi Sanusi. "Bahwa pulau ini mempunyai magnet yang kuat bagi siapa saja yang mudah disuap," katanya.
Film ini berikutnya masih diputar dengan konsep nonton bareng. "Kami ingin penetrasinya sebanyak mungkin," kata Randy. "Kami sepakat melakukan nobar di kampung-kampung, kampus, dan tempat-tempat pembuatan film."
Watch Doc ingin menyebarluaskan pemahaman bahwa reklamasi bukan cuma masalah Jakarta, tetapi Indonesia. Sebab, ada banyak reklamasi yang sedang dikerjakan dan direncanakan di Indonesia.
REZKI ALVIONITASARI