TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bikin cerita baru. Menurut dia, mafia tanah berkeliaran di Jakarta. Mafia tanah dituding sebagai biang kekalahan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam sengketa lahan di Jakarta Barat.
Walhasil, putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung memerintahkan Pemerintah Provinsi DKI mengembalikan lahan kantor Wali Kota Jakarta Barat, yang berlokasi di Jalan S. Parman nomor 2, kepada Yayasan Sawerigading, sekaligus membayar sewa tanah selama 29 tahun, yang totalnya Rp 40 miliar.
"Di Jakarta itu banyak sekali kasus orang dengan alasan tanah verponding, girik lah, tiba-tiba bisa menang," kata Ahok di Balai Kota, Senin, 9 Mei 2016. "Sudah kalah, kami juga wajib bayar sewa ke dia Rp 40 miliar. Dia tidak pernah wajib bayar PBB (Pajak Bumi Bangunan)."
Putusan MA itu terbit pada 2006. Namun pemerintah DKI Jakarta baru melaksanakan amar putusan pada 2009. Sebelumnya, pemerintah DKI meminta masukan dari Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Negeri Jakarta Barat mengenai pelaksanaan putusan tersebut agar sesuai dengan hukum. Pemerintah DKI berniat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan MA.
Baca juga:
Gerindra Beri Sinyal Ajak PDIP Koalisi Pilgub DKI
Taufik Gerindra: Lebih 'Gape' Yusril ketimbang Ahok
Risma Dielus untuk Tantang Ahok, Begini Reaksi PDIP
Leicester City Juara Liga Primer, Rumah Sakit Banjir Pasien
Ahok menerangkan, eks kantor Wali Kota Jakarta Barat, di dalam peta, seharusnya diberi arsir merah. Sebab, kawasan tersebut fungsinya untuk pemerintahan. Saat ini arsir itu berubah menjadi warna ungu alias kawasan komersial setelah dirobohkan.
Ahok mengakui belum bisa membuktikan adanya mafia tanah di Jakarta. Namun, dia menerangkan, kecurigaan adanya mafia muncul karena mengetahui ada tanah verponding yang masih diakui pada 1993. Padahal, sejak lebih dari 30 tahun lalu, status tanah verponding sudah gugur. Bahkan masih banyak pengadilan negeri yang mengakui status tanah tersebut. "Menurut Undang- Undang Pokok Agraria, (status itu) sudah gugur. Makanya ada sindikat calo tanah verponding yang mengurus lagi. Orang sudah barang mati, kok," ujar Ahok.
Ahok mencontohkan lagi, ada sekelompok masyarakat yang mengaku memiliki tanah girik di kawasan Waduk Pluit. Kemudian badan usaha milik daerah, yakni PT Jakarta Propertindo (Jakpro), terlibat gugatan soal tanah girik. Menurut dia, seluruh wilayah Pluit itu hasil reklamasi. Bila dilihat secara hukum, tidak mungkin pemegang status tanah girik menang di pengadilan.
Lalu bagaimana bisa pihak pemegang surat girik, yang digugat oleh Jakpro di Waduk Pluit, menang di pengadilan? "Itu juga sangat lucu. Girik dari mana? Girik itu artinya garapan," tuturnya. "Itu yang jadi persoalan di Jakarta. Gitu, loh."
Ahok menerangkan, mengakui tanah garapan atau tanah girik sama artinya mengakui bahwa lahan tersebut milik pemerintah. Tanah garapan, jika sudah tidak digunakan untuk menggarap tanaman lagi, tak boleh dikelola oleh generasi berikutnya. "(Lahan) Garapan itu, kalau ada bangunan, ada pohon, ada hitungan yang harus diganti. Tapi bukan berarti (mereka) menguasai (lahan)," ucap Ahok.
LARISSA HUDA