TEMPO.CO, Jakarta - Lurah dan camat di Ibu Kota harus bersiap menerima tantangan baru. Setelah lurah diwajibkan menjadi manajer wilayah, penilaian kinerja mereka kini menggunakan kartu skor (score card).
Sistem penilaian baru sejenis key performance indicator (KPI) ini dibuat Biro Tata Pemerintahan DKI Jakarta. “Sementara wali kota punya KPI, bawahannya dinilai lewat score card,” kata Kepala Biro Bayu Meghantara, Senin kemarin, di Balai Kota seusai sosialisasi score card di hadapan ratusan lurah dan camat, seperti dimuat Koran Tempo edisi 11 Mei 2016.
Score card adalah sebuah sistem target pekerjaan bulanan tiap lurah dan camat. Setiap lurah diwajibkan memetakan 16 indikator masalah di wilayahnya serta membuat target penyelesaiannya.
BACA: Modus PNS Jakarta Agar Kerja Nol Gaji Pol
Indikatornya macam-macam, seperti hunian liar, pedagang kaki lima liar, parkir liar, sampah, saluran, taman, jalan, penerangan jalan, pemeliharaan aset pemerintah daerah, akses dan kelancaran pencairan dana Kartu Jakarta Pintar, serta kemudahan akses penduduk terhadap BPJS. Selain itu, penanganan demam berdarah, penanganan masalah sosial, tindak lanjut pengaduan masyarakat, penyerapan anggaran, serta kepatuhan penduduk membayar pajak bumi dan bangunan.
Beda dengan KPI yang berlaku untuk eselon I dan II serta bersifat internal, semua indikator dan target penyelesaian score card wajib diunggah ke portal Jakarta Smart City. “Jadi semua orang di Jakarta bisa mengecek target mereka yang belum selesai apa saja,” ujar Bayu.
Penilaian dalam sistem ini berjenjang. Kinerja lurah akan dinilai oleh camat, sedangkan camat dinilai oleh wali kota.
BACA: Lurah Kartini dan Akal-Akalan PNS Jakarta
Bayu mencontohkan di Pondok Pinang. Lurah Pondok Pinang memetakan ada empat pedagang kaki lima liar di sekitar Masjid Ni’matul Ittihad (bakal jadi wewenang kecamatan bila ada 5-10 pedagang kaki lima). Lurah lalu menuliskan pada score card dagangan apa yang mereka jual, jam operasional, dan gangguan akibat aktivitas mereka, misalnya menyebabkan kemacetan.
Setelah itu, lurah wajib pula menuliskan solusi awal, misalnya para pedagang direlokasi ke tempat binaan. Terakhir, lurah harus menuliskan target penyelesaian relokasi serta melaporkan kondisi empat pedagang itu yang diperbarui setiap bulan.
Menurut Bayu, sistem penilaian kinerja dengan 16 indikator ini jauh lebih obyektif. Selama ini penilaian kinerja lurah dan camat banyak mengandalkan faktor kedekatan individu. “Dulu penilaiannya secara umum, lewat lomba-lomba. Sekarang enggak perlu lagi. Tinggal kami nilai lewat rapor ini,” tutur Bayu.
BACA: Pesan Ahok Jika Tak Terpilih Lagi Menjadi Gubernur Jakarta
Score card juga akan menjadi penentu tunjangan kinerja yang bisa dibawa pulang lurah dan camat. Makin besar target tercapai, makin besar pula tunjangan kinerja daerah (TKD) mereka. “Selain score card, TKD mereka ditentukan terhadap respons aduan lewat Qlue dan tingkat kehadiran,” ucap Bayu.
Camat Kebayoran Lama Munjirin mendukung sistem ini karena lebih transparan. Saat ini kecamatannya masih memetakan 16 indikator itu. “Juni ini pemetaan selesai,” katanya. Pekerjaan dilakukan pada Juli-November sehingga wali kota bisa menilai kinerjanya pada Desember 2016.
Namun tampaknya score card masih belum mencakup semua permasalahan di kelurahan dan kecamatan. Hizbullah dari Staf Bidang Pembinaan Penghunian Dinas Perumahan DKI Jakarta mengatakan indikator penertiban rumah kos belum masuk score card. “Padahal kami perlu dukungan lurah dan camat untuk menertibkan kos-kosan, baik data kependudukan maupun pembayaran pajaknya,” ujarnya saat ditemui seusai sosialisasi score card. “Akan saya sampaikan ke Kepala Biro sesuai dengan arahan Kepala Dinas Perumahan.”
Dengan penilaian secara online ini, disertai pantauan dari masyarakat, Bayu menilai kinerja aparat di tingkat kelurahan akan jauh lebih giat. Selama ini kinerja dan penilaian mereka tertutup dan sulit diukur.
INDRI MAULIDAR