TEMPO.CO, Jakarta - Di Jakarta, pemerintah berhadapan dengan masyarakat dan kalah di pengadsilan karena dianggap tak mensosialisasi program-program kerjanya. Itu terjadi di Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Selatan, seperti diceritakan Koran Tempo edisi 12 Mei 2016.
Pemerintah Jakarta belum bisa meneruskan pembangunan jalan masuk air alias inlet ke terowongan bawah tanah untuk menampung limpasan air Ciliwung agar tak menggenangi permukiman jika turun hujan. Rencana tersebut digugat penduduk Bidara Cina yang merasa tak mendapat sosialisasi kebijakan itu.
BACA: Dua Argumen Ahok Kalah di Bidara Cina
Keputusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada akhir bulan lalu mengabulkan gugatan penduduk didasari dua hal: tak ada sosialisasi dan menilai pemerintah diam-diam meluaskan peta lahan yang akan dibangun inlet itu. “Padahal peta tak berubah dan luas lahannya tetap. Jumlah rumah yang akan digusur juga tak bertambah,” kata Wali Kota Jakarta Timur Bambang Musyawardhana, kemarin.
Pangkal kekisruhan itu adalah tiga surat keputusan Gubernur Jakarta atas lahan tersebut. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menerbitkan surat bernomor 2779/2015 yang menetapkan luas rencana lahan inlet adalah 10.357 meter persegi. Penduduk Bidara Cina menganggap hal ini sebagai perluasan diam-diam. Sebab, dalam surat keputusan Gubernur Joko Widodo, luas lahan hanya 6.0945,94 meter persegi.
Menurut Bambang, surat Gubernur Basuki itu hanya meneruskan surat Jokowi karena masa berlakunya telah habis. Pembangunan inlet ini sudah molor dua tahun lantaran pemerintah tak kunjung bisa membebaskan lahannya. Terowongan air sepanjang 1,23 kilometer itu sudah rampung separuhnya. Ujung terowongan, yang bermuara di Cipinang, kini berada di Jalan Otto Iskandar Dinata (Otista) III untuk mengalirkan air ke Kanal Banjir Timur.
BACA: Kalah di Pengadilan, Warga Bidara Cina Minta Ahok Refleksi
Karena surat Basuki hanya memperpanjang masa berlaku surat sebelumnya, luas lahan inlet itu tak bertambah. Sumber perubahan angka luas lahan itu adalah perubahan luas shaft atau ruang kerja di bawah Jalan Otista. Karena shaft di bawah tanah, pemerintah tak perlu menggusur bangunan di atasnya.
Perubahan itu dilakukan atas permintaan Balai Besar Ciliwung-Cisadane, yang mengerjakan proyek tersebut. Terowongan Ciliwung adalah proyek Kementerian Pekerjaan Umum melalui Balai Besar. Nilainya sekitar Rp 492 miliar. Pemerintah Jakarta bertugas membebaskan lahan untuk proyek tersebut.
Kepala Bidang Pelaksana Balai Besar, Bastari, mengatakan penambahan luas itu diminta karena Balai berencana membangun trase di lokasi sodetan. Penambahan itu diambil dari shaft yang ada di Cipinang Cempedak. Luas shaft sekitar 3.964 meter persegi dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 80 Tahun 2014 yang diteken oleh Jokowi.
Menurut Bastari, jika Basuki tak mengubah luas inlet, pembangunan trase akan terpisah dalam dua aturan. Untuk mempermudah pembangunan inlet dan trase, Balai meminta Basuki mengubah luas inlet. “Secara riil, luas yang akan digusur itu tak berubah,” kata dia.
BACA: Meski Kalah, Ahok Tetap Bongkar Bidara Cina
Karena itu, peta pun tak berubah. Sodetan tetap menggunakan peta lama yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Nomor 79 Tahun 2014—lokasi pembangunan outlet di Cipinang Besar Selatan (sekitar 3.316,90 meter persegi)—SK Gubernur Nomor 80; dan SK Gubernur Nomor 81.
Hingga saat ini, Balai baru memiliki peta bidang di RW 005 dan 014. Warga RW 004 menolak pengukuran oleh pemerintah. Ada 300 bangunan yang akan dibongkar di RW 005 dan 014. Menurut Ketua RW 014 Budhy, ada 38 bangunan di wilayahnya yang akan dibongkar. “Itu ada di tiga RT,” katanya.
Penduduk yang tergusur dipindah ke rumah susun Cipinang Besar Selatan. “Rugi kalau mereka tak segera mengambil unitnya,” kata Bambang. Tapi Rere, penduduk setempat, malah menyesal sudah tinggal rumah susun dan merelakan rumahnya seluas 60 meter persegi di Bidara Cina dirobohkan.
Rere menyesal karena tetangganya yang menolak pindah masih tinggal di sana karena pengadilan mengabulkan gugatan mereka. “Dulu buru-buru karena saya takut jadi gelandangan, tak punya rumah,” kata perempuan 28 tahun ini.
GANGSAR PARIKESIT