TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Sanggar Ciliwung Merdeka Sandyawan Sumardi akan melawan pemerintah jika tetap menggusur kawasan Bukit Duri dengan cara tidak manusiawi. Menurut Sandyawan, pemerintah seharusnya tidak melanggar kesepakatan yang dibuat Gubernur Jakarta waktu itu, Joko Widodo, dengan warga Bukit Duri.
"Bahkan Jokowi yang waktu itu sebagai Gubernur baru mempersilakan warga Bukit Duri menyampaikan konsep desain Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri," kata Sandyawan di Sanggar Sungai Ciliwung Merdeka, Kamis, 12 Mei 2016.
Saat itu, kata Sandyawan, Joko Widodo menyampaikan janji bahwa kampung di bantaran sungai tidak akan digusur tapi hanya dilrevitalisasi. Kawasan Bukit Duri disepakati akan dibuat pilot project atau proyek percontohan kampung susun manusiawi tersebut.
Adapun prasyarat yang diajukan warga kepada Jokowi waktu itu adalah rumah susun yang akan diberikan adalah rumah susun sederhana milik (rusunami). Rencananya akan dibangun 420 unit dan harus disetujui oleh warga yang akan menempatinya. "Pembangunan itu harus sesuai dengan ketentuan hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta," kata Sandyawan.
Jokowi menyepakati kalau Sungai Ciliwung, selain diperdalam dan dibersihkan juga akan diperlebar dari rata-rata 20 meter hingga 35 meter. Kemudian, bangunan lima lantai akan didirikan sejauh lima meter dari bibir Sungai Ciliwung dan menghadap ke sungai.
Bahkan, kata Sandyawan, untuk pembiayaan kampung tersebut harus murah dengan perbandingan 50 persen pembiayaan berasal dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 30 persen dari warga Bukit Duri, dan 20 persen dari beberapa investor yang dikontrol Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Kampung susun diusulkan oleh warga karena selama ini, kata Sandyawan, rusunawa telah gagal menjadi tempat tinggal karena hanya menyediakan ruang tempat tidur semata.
Sandyawan berujar selama ini rusunawa telah mengabaikan ruang usaha, sosial, ruang ke ekonomi, budaya, dan religius.
Sandyawan menganggap dialog dan partisipasi masyarakat nyaris hilang di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. "Padahal, saat datang dan meminta restu, warga menerima dengan terbuka. Ia disajikan menu sederhana, yaitu dengan teh dan singkong," kata Sandyawan.
Pada 2 Mei 2016, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mensosialisasikan bahwa akan ada penggusuran pada akhir Mei 2016. Walhasil, bakal ada 384 keluarga atau 1.275 jiwa yang jadi korban. Wilayah yang terkena penggusuran seluas 17.067 meter persegi.
Mendengar kabar tersebut warga meminta agar program pemerintah tersebut dihentikan karena dianggap tindakan melawan hukum. Pada 10 Mei 2016, mereka mengajukan gugatan ke pengadilan.
LARISSA HUDA