TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Daerah Metro Jaya menyelidiki kasus sengketa lahan antara keturunan keluarga Sjech Ali bin Abdolah bin Awab dengan PT Multi Aneka Sarana.
Lahan yang beralamat di Jalan Pecenongan No. 40, Jakarta Pusat, itu bekas markas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Penyelidikan kasus dilakukan polisi bersama tim Badan Pertanahan Nasional dengan mengukur obyek sengketa di atas lahan seluas 3.000 meter persegi kemarin.
Sengketa lahan itu kembali memanas setelah keluarga Sjech Ali bentrok dengan kelompok pendukung PT Multi Aneka tiga pekan lalu. Keluarga Sjech melaporkan penguasaan lahan itu pada 2002 berbekal eigendom verponding (surat pajak zaman Belanda) Nomor 8923. Pada 1978, lahan itu disewa PT Perkebunan Nusantara XI selama 20 tahun.
Pada 1989, PTPN membuat sertifikat tanah itu setelah permintaan sertifikat oleh keluarga Sjech Ali ditolak BPN. “Mereka mengatakan mendapat lahan itu dari hibah Kementerian Dalam Negeri, padahal obyek hibah bukan Jalan Pecenongan Nomor 40,” kata juru bicara keluarga Sjech Ali, Paulus Junanda seperti dikutip Koran Tempo edisi 13 Mei 2016.
Berdasarkan surat BPN, disebutkan bahwa hibah hanya meliputi empat lokasi di luar lahan yang berada di Jalan Pecenongan 40. Lahan hibah itu meliputi tanah negara dengan HGB No. 130, HGB 131, HGB 134, dan HGB 135 di Jalan Nusantara 19-19 a. Lahan hibah juga diberikan untuk tanah di Jalan Pecenongan 46 serta Jalan Pecenongan (tanpa nomor).
Belum selesai konflik itu, PTPN menjual tanah itu kepada Teodorus Bunanta, yang menghibahkannya kepada Andreas Andhika Bunanta. Andreas kemudian menjual lahan hibah itu kepada PT Multi Aneka Sarana senilai Rp 13 miliar.
Sengketa lahan tersebut membuat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang menempati kantor itu sejak 2000, hengkang. Mereka lalu merelokasi kantor ke Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Sengketa lahan tersebut sempat memanas setelah keluarga Bunanta merobohkan seluruh bangunan di atas lahan itu pada 2008.
Keturunan Sjech Ali berhasil menempati kembali lahan tersebut setelah mendapatkan surat dari BPN pada 2015. Namun, dua bulan setelahnya, PT Multi Aneka Sarana melaporkan mereka ke polisi.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI