TEMPO.CO, Jakarta - Abdul Rahman tak pernah tahu di mana letak kubur adiknya, Iwan Santoso di pemakaman masal korban tragedi Mei 1998, Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Tapi tiap tahun Abdul selalu menyambangi makam itu.
Seperti yang dilakukannya pada Sabtu, 14 Mei 2016 kemarin. Rahman menatap barisan makam yang ada di depannya. Hampir seratusan makam bernisan tanpa nama. Namun Rahman tetap khusuk berdoa.
Kenangan Rahman melayang pada 14 Mei 1998 silam. Sang adik, Iwan Santoso yang saat itu berusia 20 tahun, ikut menjadi korban saat Yogya Plaza (saat ini Citra Mall Klender), Jakarta Timur terbakar. Mal itu jadi sasaran massa yang menyerbu masuk untuk mengambil barang-barang di dalamnya.
Namun kondisi berubah menjadi horor setelah api melalap mal tersebut. Sekitar 400 orang terjebak di dalam mal itu. Mereka kemudian ditemukan tewas dengan tubuh terpanggang.
Para korban yang tak dikenali identitasnya kemudian dimakamkan secara massal di Pondok Ranggon. Nisan mereka hanya bertuliskan Korban Tragedi 13-15 Mei 1998 Jakarta.
Meski tak pernah mengetahui di mana kubur Iwan. Abdul Rahman termasuk yang setia mendatangi pemakaman ini tiap peringatan Mei tiba. Namun pria 58 tahun itu mengakui, peringatan tahun ini tak seperti tahun-tahun sebelumnya. "Jumlah kami tak sebanyak dulu," ujar ia.
Ia mengenang dulu para peziarah kerap memenuhi pekuburan itu. Setidaknya ada 200-an orang yang berziarah tiap Mei. Tapi kemarin, hanya 32 orang yang datang. "Sekarang bisa dihitung paling banyak keluarga korban 20 orang," kata Abdul Rahman.
Setelah peristiwa kelam 1998 itu Abdul bercerita para keluarga korban membentuk Tim Relawan Kemanusiaan. Mereka lalu bersama-sama berjuang meminta pemerintah mengungkap kebenaran kasus ini. Mereka juga mendirikan koperasi untuk memulihkan perekonomian setelah ditinggalkan keluarga yang menjadi tulang punggung.
Setelah 18 tahun peristiwa itu, jumlah keluarga korban yang bertahan di perkumpulan itu semakin berkurang. "Karena pada putus asa. Saya sendiri juga sebenarnya gak banyak menuntut lagi," kata Rahman. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang meninggal dalam tragedi itu adalah korban politik. Ia sendiri baru menyadarinya beberapa tahun kemudian, setelah terlibat dengan komunitas dan memahami sejarah kelam itu.
Permintaan korban sederhana. Mereka meminta pemerintah menjelaskan soal peristiwa itu dengan terang. Mereka juga ingin memperbaiki nama baik korban yang meninggal. Sebab, warga yang wafat itu diberi cap sebagai penjarah.
Sejak era presiden BJ Habibie, keluarga korban terus mendesak agar informasi tentang kasus ini diusut. Menurut istri Rahman, Herwin Wahyuningsih, Habibie sempat membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998. Namun masyarakat belum puas.
Setiap presiden berganti, mereka menuntut hal serupa. Termasuk meminta pemerintah menghilangkan stigma "penjarah" bagi korban jiwa. "Tetapi kami pernah demo di istana, digebuk," kata Rahman. Tak cuma kepada presiden, kata Rahman, warga juga menuntut ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Ruyati Darwin, 70 tahun, ibu dari korban Eten Karyana, mengatakan peringatan tragedi 98 tiap tahun ini bukan menggali luka. "Tapi bisa menjadikan semangat perjuangan bagi kami," katanya. Sayangnya, kata dia, pemerintah belum merespons para keluarga korban. "Padahal Presiden Jokowi sudah berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM, termasuk Mei 98."
Ruyati mengatakan kegiatan rutin ini juga berguna untuk mengingat para korban yang meninggal. Wanita yang tinggal di Kelurahan Penggilingan, Jakarta Timur ini mengetahui anaknya ikut terbakar di mal lewat siaran televisi. "Dompet dan KTP-nya yang tidak terbakar ditemukan," katanya.
Ketika suami Ruyati, Darwin, mencari mayat Eten, kemeja menjadi penanda. "Dipakainya baju kesayangan bapaknya," kata Ruyati. Baju lengan panjang putih garis-garis kecil itu juga sangat disukai Eten.
REZKI ALVIONITASARI