TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan, jika pemerintah menerapkan hukuman kebiri, hal itu dapat menimbulkan pro dan kontra. Pasalnya, melihat peristiwa kejahatan seksual selama ini, pelaku tidak hanya berusia dewasa, ada juga yang di bawah umur.
"Ya, bisa-bisa kontroversial. Umurnya berapa, terlalu banyak," ujarnya di Balai Kota Jakarta, Selasa, 17 Mei 2016.
Ahok berujar, ihwal pemberian hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan seksual, lebih baik ditanyakan kepada ahlinya. "Wah, kamu tanya ahli hukum aja, deh. (Nanti) malah kita bisa berdebat soal itu," ucapnya.
Saat ini pemerintah tengah mengkaji untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) agar dapat memberi perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual sekaligus menjatuhkan hukuman yang berat terhadap pelaku.
Rapat terbatas telah digelar di Kompleks Istana Merdeka pada Rabu, 11 Mei lalu. Dalam rapat itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan ada dua jenis hukuman di dalam perpu, yakni hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Hukuman pokok adalah penambahan masa maksimal hukuman penjara selama 20 tahun. Dalam Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pelaku kekerasan seksual terhadap anak dijatuhi hukuman maksimal bagi 15 tahun.
Untuk hukuman tambahan, pelaku kejahatan seksual dapat dihukum kebiri, yakni memusnahkan hasrat seksual terhadap seseorang secara fisik atau kimia. Selain itu, setelah bebas, pelaku akan dipasangi chip elektronik di pergelangan kakinya sebelum keluar penjara agar dapat dipantau pergerakannya.
Namun, menurut Yasonna, pemberlakuan hukuman tersebut masih harus dibahas melalui pembentukan perpu dan dikirim ke DPR untuk disetujui.
DESTRIANITA KUSUMASTUTI