TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menegaskan pihaknya tidak melakukan barter dalam proyek reklamasi di Teluk Utara Jakarta. Kata dia, barter berarti ia mendapatkan keuntungan dalam proyek itu. Namun yang dia lakukan adalah meminta pengembang membayar kontribusi tambahan.
"Barter itu kita sama-sama tukar dapat sesuatu. Jadi, misalnya, ada peraturan 15 persen, lalu saya kasih izin hilangkan 15 persen, lalu saya dapat sesuatu, itu baru bisa dituduh barter. Ini kan tidak. Saya nambahin 15 persen, nambahin lho. Namanya kontribusi tambahan," ujar Gubernur yang biasa disapa Ahok ini di Balai Kota Jakarta, Kamis, 19 Mei 2016.
Ahok berujar, dasar penentuan kontribusi sebesar 15 persen yang dibayarkan pengembang berdasarkan peraturan awal saja yang tidak disebutkan jumlah angkanya. "Ketika suatu peraturan itu tidak ada, kita bisa buat peraturan, kan?" kata Ahok.
Ahok mencontohkan penambahan koefisien lantai bangunan (KLB) yang dilakukan Mory Company, yang membayarkan kontribusi kepada Pendapatan DKI, diwujudkan dalam bentuk Simpang Susun Semanggi. "Kalau kamu menggunakan kata barter yang sama tukar Mori, masuk akal enggak? Kamu mau nambah gedung, saya kasi izin, Anda sepakat, saya buat peraturan, ada NJOP (nilai jual obyek pajak), apakah itu yang namanya barter? Bukan dong. Itu namanya kontribusi tambahan kepada Anda. Lalu, kenapa Anda mau? Karena sudah dapat persetujuan, kesepakatan. Itu bukan barter namanya," tutur Ahok.
Pemberitaan Ahok menerima barter dalam kasus reklamasi dimuat Koran Tempo pada Rabu, 11 Mei 2016. Pemberitaan itu kemudian disusul dengan munculnya fotokopi yang beredar di kalangan wartawan pada hari berikutnya. Dalam data itu tertulis nama Ahok dalam judul “Daftar Kontribusi Tambahan (bukan CSR) yang Telah Diterima Gubernur Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dari Agung Podomoro Land”. Tidak jelas dari mana fotokopi itu berasal.
Dalam data itu tercantum beberapa proyek PT Agung Podomoro Land yang menjadi bagian kontribusi tambahannya berupa nilai kontrak, uang yang sudah dibayarkan, dan sisanya. Beberapa proyek itu di antaranya proyek Rumah Susun Sewa Daan Mogot. Adapun total dana yang tertulis dalam nilai kontrak sebesar Rp 392,6 miliar. Dari total semua proyek, kekurangan yang harus dibayarkan tertulis Rp 173,9 miliar.
Ahok mengatakan tidak pernah melakukan barter atau menerima dana atau nilai kontrak seperti yang tertulis dalam selebaran itu. Terlebih saat ia diundang ke Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memberikan kesaksian dalam kasus dugaan suap reklamasi, ia tidak ditanyai penyidik tentang hal itu. Ahok menegaskan, ia tidak mungkin menukar kontribusi pengembang reklamasi yang bisa mencapai Rp 1 triliun dengan proyek sebesar Rp 300 miliar.
DESTRIANITA KUSUMASTUTI