TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis dan pengamat perkotaan, Marco Kusumawijaya, mengkritik pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang tidak melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat, dalam setiap rencana pembangunan. Padahal hal tersebut perlu dilakukan agar kepentingan bersama dapat terjaga.
Menurut Marco, dalam merencanakan perubahan kota, yang paling penting dipikirkan adalah perubahan tersebut harus dirancang bersama-sama, sehingga dalam proses pembangunan harus mengajak sebanyak mungkin pihak terlibat. "Karena kalau banyak orang yang terlibat, banyak orang akan merasa saling memiliki. Dia akan berbuat yang terbaik untuk kota tanpa diminta," kata Marco saat dijumpai di Institute Francais Indonesia, Jakarta, Jumat, 20 Mei 2016.
Selain itu, kata dia, penting untuk mendayagunakan ide banyak orang, terutama para ahli di bidangnya masing-masing. Menurut dia, dengan banyaknya kepentingan, tiap pihak bisa saling mengimbangi. "Dalam keadaan kritis sangat berbahaya jika mengambil keputusan hanya atas dasar ide dasar sendiri," kata Marco.
Marco menuturkan, sejauh ini, penataan kota, termasuk Jakarta, tidak pernah melibatkan banyak pihak, termasuk Jakarta. Terbukti, beberapa proyek besar yang ada di Jakarta selalu berbenturan dengan pihak lain, termasuk dengan warga setempat. "Lihat reklamasi. Kalau kami (aktivis) tidak ribut, mana mungkin bisa tahu banyak pelanggaran dalam prosesnya," kata Marco.
Menurut dia, sudah jelas kepentingan reklamasi hanya untuk kepentingan pengembang karena pemerintah, dalam hal ini adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, hanya mendengar masukan segelintir orang. "Saya tidak bilang pendapat developer tidak perlu didengar. Tapi kalau hanya mendengar pendapat dia dan tidak mendengar rakyat, itu berbahaya," kata dia.
Dalam membuat keputusan penting dan kritis, kata Marco, jangan hanya berdasarkan pandangan yang sempit. Hal ini terlihat dari cara Ahok menggusur warga dengan dalih tanah negara. Melihat anggapan tersebut, Marco menilai banyak hal yang tidak diketahui Ahok sebagai gubernur.
Marco menyebutkan bahwa tanah negara itu tidak sama dengan tanah pemerintah. Menurut dia, falsafah dari Undang-Undang Agraria itu, pemerintah itu hanya bagian dari salah satu pihak dalam negara, sehingga tanah negara memang bisa dipakai oleh rakyat.
"Jadi, kalau warga sudah menempati tanah itu terus-menerus, Anda boleh meminta karena negara ini baru ada sejak 1945. Kalau pemerintah mau meminta pun, mereka harus memohon," kata dia.
LARISSA HUDA