TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menunda sidang gugatan class action warga Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Hal itu dilakukan karena para tergugat tidak hadir dalam sidang.
Para tergugat adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) dan Pemerintah Kota Jakarta Selatan.
Baca juga:
Teman Ahok Siap Galau? Ini 3 Pendorong Ahok Lari ke Partai
Ribut Achmad Dani & Kapolda Metro, Begini Keduanya Ketemu...
"Menyatakan sidang tidak bisa dilanjutkan karena tergugat tidak hadir. Maka sidang ditunda dua minggu dan akan digelar kembali pada 21 Juni 2016," kata Ketua Majelis Hakim Riyono menutup sidang yang berlangsung Selasa, 7 Juni 2016.
Pengadilan akan kembali melayangkan surat panggilan ke pihak tergugat, sedangkan majelis hakim meminta pada perwakilan warga Bukit Duri untuk melengkapi persyaratan identitas sambil menunggu sidang selanjutnya.
Gugatan dilayangkan pada 10 Mei 2016 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk class action atau perwakilan kelompok. Pada Januari 2016, aparat Pemerintah Jakarta menggusur 133 rumah di RW 10.
Gubernur Jakarta Basuki Purnama alias Ahok mengancam akan menggusur sekitar 440 rumah milik warga di RW 09, 10, 11, dan 12 Bukit Duri. Gugatan itu dilayangkan oleh warga yang belum terkena penggusuran.
Salah satu penggugat adalah Ketua Sanggar Ciliwung Merdeka Sandyawan Sumardi. Dia meminta Pemerintah Jakarta tidak perlu merasa takut untuk hadir ke pengadilan. "Justru warga Bukit Duri yang mestinya merasa takut lantaran rumah mereka terancam digusur," katanya.
Menurutnya, warga Bukit Duri ditakut-takuti Gubernur Ahok. Pemprov DKI, katanya, harusnya memfasilitasi dan mengajarkan demokrasi pada warga.
Sandyawan menjelaskan warga tidak menolak proyek normalisasi Sungai Ciliwung. Yang mereka tolak adalah cara Gubernur Ahok main paksa dan tidak melakukan dialog dengan warga.
Padahal ketika Jokowi menjadi Gubernur Jakarta dan Ahok menjabat wakilnya, terjadi dialog. Dari rembukan tersebut, kata Sandyawan, dibicarakan usulan pembangunan kampung susun.
"Sudah ada persentase pembiayaan yakni 50 persen dari pemerintah, 30 persen swadaya warga, dan 20 persen investor. Semua syarat yang Pak Jokowi berikan sudah dapat kita penuhi," ujar Sandyawan.
Semua kesepakatan itu berubah setelah Jokowi menjadi Presiden dan Ahok menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta. Sandyawan bertanya mengapa Ahok menerima formasi kampung susun untuk warga Kampung Pulo, tetapi untuk mengubah formasinya untuk warga Bukit Duri.
"Tidak ada dialog dengan warga, tidak ada partisipasi, pembicaraan hanya satu arah," kata Sandyawan. "Kita datang tidak boleh, kita mengundang, tidak datang, bagaimana? Kami ingin berkomunikasi dan ingin diambil suatu keputusan yang adil," ujar Sandyawan yang sejak 1990-an mendampingi kelompok marginal di Jakarta.
CHITRA PARAMAESTI | LARISSA HUDA
Baca juga:
Teman Ahok Siap Galau? Ini 3 Pendorong Ahok Lari ke Partai
Pilkada DKI: Tiga Pemicu Ahok Bakal Kompromi dengan Partai