TEMPO.CO, Jakarta - Ahli oseanografi dari Institut Pertanian Bogor, Alan Frendy Koropitan mempertanyakan acara diskusi tentang reklamasi yang digelar di Balai Kota DKI pada Jumat-Sabtu pekan lalu. Menurut Alan, acara itu seolah mundur dari apa yang pernah dilakukan sebelumnya. "Pertemuan itu kenapa prosesnya seperti dari nol?" kata Alan saat dihubungi Senin 13 Juni 2016.
Dia mengatakan, sebelum konsultasi publik di Balai Kota DKI, sudah ada pertemuan Environmental Support Program (ESP) pada 2011. Penyelenggaranya adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Lingkungan Hidup didukung lembaga bantuan internasional Denmark, Danish International Development Agency (DANIDA).
Menurut Alan, di pertemuan itu ada semacam naskah akademik untuk kebijakan lingkungan hidup strategis (KLHS). “Laporan itu adalah laporan yang dasarnya kajian ilmiah, sebagai akademisi saya melihat sudah ada kajian ilmiah yang baik, kenapa tidak muncul di konsultasi publik (di Balai Kota)?”
Ia menganggap pertanyaan-pertanyaan yang muncul di konsultasi publik seolah-olah mulai dari nol dan mementahkan laporan yang sudah ada. Alan menjelaskan selain pertemuan tahun 2011, ada pula laporan ilmiah yang dihasilkan dari kegiatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait Giant Sea Wall dan reklamasi 17 pulau.
Alan mengatakan kajian ilmiah dari pertemuan ini tak dihadirkan dalam konsultasi publik di Balai Kota. Ia menilai konsultasi publik itu hanya mendengarkan opini-opini dari peserta saja. “Yang menurut saya sangat lemah untuk mengambil suatu kebijakan. Seharusnya berdasarkan proses di lapangan, sains,” ujarnya. Alan mengatakan perdebatan yang berisi opini hanya menciptakan kelompok pro dan kontra.
Kajian ilmiah yang dihasilkan pada 2011 lalu menyatakan bahwa reklamasi 17 pulau akan memperlambat pola arus. Ketika pola arus melambat, kemampuan alami teluk mencuci suatu material menjadi lama. Akibatnya, sedimentasi akan meningkat. “Karena sedimen yang masuk dari sungai-sungai tidak ke mana-mana, maka akan mencapai 60 sentimeter per tahun,” kata Alan.
Jika kedalaman air suatu sungai 2 meter, maka tersisa 1,4 meter. Kalau sedimentasi terjadi di hampir semua muara-muara sungai, maka terjadi penyumbatan dan banjir.
Ancaman kedua adalah pencemaran limbah organik dan logam berat bisa meningkat. Alan sepakat teluk Jakarta sudah tercemar, tetapi dengan ditambah 17 pulau itu, akan memperparah pencemaran. “Ditambah sedimen tadi, jadi reklamasi bukan jawaban untuk teluk tercemar itu.”
Adapun tentang Giant Sea Wall, pertemuan ilmiah menyimpulkan tempat ini akan jadi seperti waduk. Artinya, airnya relatif tidak ke mana-mana. Hal ini meningkatkan tingkat pencemaran. “Reklamasi sudah memperparah pencemaran, tambah Giant Sea Wall, akan semakin meningkat,” ujar Alan.
Alan juga mempertanyakan, pertemuan dua hari di Balai Kota memisahkan peserta diskusi ke agenda FGD dan konsultasi publik. Ia menilai hanya 2-3 pakar yang berlatar belakang oseanografi yang diundang di FGD pakar. Ia termasuk pakar yang diundang pada hari kedua, yakni konsultasi publik. Namun, Alan tak hadir karena sudah punya agenda lain.
Pandangan Alan mengenai reklamasi sejalan dengan hasil riset dan kajian-kajian sebelumnya. “Saya akademisi bukan politisi, saya melihat metodenya ok, dan hasil proses di alam, saya percaya itu,” ucap dia. “Saya tidak mau percaya yang ngomong A dan ngomong C.”
REZKI ALVIONITASARI