TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Subdirektorat Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Komisaris Hadi Setiawan mengatakan timnya telah menangkap tujuh pelaku pemalsuan vaksin pada Rabu, 22 Juni 2016.
“Tujuh orang tersebut terdiri atas produsen dan distributor. Hingga saat ini, kasus masih dalam pengembangan,” katanya dalam acara “Laporan Temuan Operasi Pangea IX” di kantor Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kamis, 23 Juni 2016.
Pelaksana tugas Kepala BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid mengatakan lima vaksin yang ditemukan terdiri atas Tubercullin untuk vaksin penyakit TBC, Pediacel dan Triacel untuk vaksin penyakit tetanus, Bioset untuk penyakit yang disebabkan alergi, dan Hafren untuk hepatitis A.
“Kami menemukan kandungan dari salah satu vaksin yang dipalsukan. Ada gentamisin yang dicampur dengan air untuk vaksin Tubercullin. Untuk vaksin lain masih dalam pemeriksaan,” katanya.
Johan mengatakan pihaknya telah menerima informasi bahwa vaksin-vaksin tersebut sudah dijual ke beberapa puskesmas dan klinik swasta. “Mulai hari ini kami mengerahkan Balai POM seluruh Indonesia. Diduga peredaran masih di Jakarta, tapi kami belum tahu bagaimana persebarannya, mungkin saja sudah luas,” ucapnya. “Kami akan cek, semua klinik kecil yang tidak menggunakan BPJS akan diperiksa mulai hari ini,” ujarnya.
Penelusuran dan pengambilan sampel dilakukan BPOM untuk mencari peredaran obat palsu di kalangan masyarakat. “Kami bekerja sama dengan Bareskrim. Untuk menangkap-menangkap saja tidak akan ketemu, dibutuhkan intelijen untuk menelusuri,” ucapnya.
Menurut Johan, kesulitan dalam pemberantasan obat palsu antara lain produksinya dilakukan di rumah-rumah yang sulit terdeteksi dan permintaan konsumen akan obat ini tinggi serta konsumen tergiur oleh harga miring yang ditawarkan.
“Obat palsu bisa lebih murah 10-50 persen. Hal yang paling mudah untuk menghindarinya adalah membeli obat di agen resmi,” katanya.
CHITRA PARAMAESTI