TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok. Aturan itu digodok oleh Badan Legislasi setelah disetujui dalam rapat paripurna pada Maret lalu.
Anggota Badan Legislasi, Gembong Warsono, mengatakan aturan tersebut merupakan usulan dari Dewan. Ia menilai, aturan itu perlu ditegakkan. Alasannya, dampak rokok bagi kesehatan harus diminimalisasi, terutama bagi perokok pasif. "Harus dibatasi," katanya, Selasa, 28 Agustus 2016.
Ke depan, kata Gembong, pembahasan ini akan melibatkan semua pihak, mulai produsen, petani, dan masyarakat anti-rokok. Ia tak ingin aturan yang tengah dibahas ini hanya menguntungkan kelompok tertentu. "Pembahasan akan terbuka," ucapnya.
Menanggapi Raperda ini, Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia menolaknya. Menurut Soeseno, Ketua Departemen Advokasi & Hubungan Antar Lembaga, dalam Raperda itu, banyak pasal yang mengundang kontroversi. Pasal 41 ayat 2 soal sanksi kepada perokok, misalnya.
Ia mengatakan sanksi bagi perokok berupa pembatasan pelayanan administrasi kependudukan dan kesehatan tidak adil. "Ini kan hak masyarakat, mengapa dengan merokok harus dibatasi?" ujarnya.
Selain itu, menurut dia, aturan tanpa rokok ini bakal mematikan industri tembakau. Kini, kata dia, industri tembakau mampu menyerap tenaga kerja sekitar 6 juta orang dan penyumbang pajak ketiga terbesar, yakni Rp 173,9 triliun pada 2015.
Ia menilai, aturan kawasan tanpa rokok bisa menimbulkan gelombang PHK dalam jumlah besar. Karena itu, ia meminta DPRD melibatkan mereka dalam pembahasan itu. "Ini aturan sangat penting bagi kami. DPRD harus melihat dampaknya," katanya.
ERWAN HERMAWAN