TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan KNTI Martin Hadiwinata mengapresiasi keputusan penghentian reklamasi Pulau G oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli. Kendati demikian, ada catatan kritis mengenai keputusan tersebut.
"Keputusan tersebut belum menyentuh akar permasalahan di Teluk Jakarta yang timbul akibat proyek reklamasi khususnya persoalan sosial dan ekologis yang berdampak kepada nelayan tradisional dan perempuan nelayan di sepanjang 72 kilometer pesisir Teluk Jakarta," kata Martin di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat, 1 Juli 2016.
Martin mengatakan keputusan tersebut masih berniat memuluskan proyek reklamasi dan proyek Garuda (NCICD/tanggul laut raksasa) dengan cara memperkuat pembangunan tanggul pantai dan tanggul sungai. "Salah satu masalah yang timbul adalah penggusuran-penggusuran di Teluk Jakarta. Di Muara Angke, Kp Baru, Dadap dan terakhir di Pasar Ikan," kata dia.
Martin berujar rekomendasi penghentian itu diduga hanya dibuat untuk meredam kemarahan rakyat terkait reklamasi tersebut. Dia meminta agar ada tindakan konkret untuk memulihkan hak-hak nelayan tradisional atas sumber daya wilayah pesisir di Teluk Jakarta.
"Selama ini tidak pernah ada konsultasi publik kepada seluruh masyarakat di Teluk Jakarta atas proyek reklamasi yang ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah. Persoalan utama di Teluk Jakarta adalah rusaknya sumber daya tanpa ada upaya penyelesaian," kata dia.
Martin mengatakan seharusnya pemerintah mengkaji ulang niat mereklamasi dan menyelesaikan persoalan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta memastikan hak atas tanah warga pesisir Teluk Jakarta.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli atas nama pemerintah membatalkan pembangunan reklamasi Pulau G yang dikembangkan PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha Agung Podomoro, secara permanen. Keputusan tersebut diambil pemerintah setelah bertemu Komite Bersama Reklamasi.
Dalam keputusannya, Menteri Rizal Ramli mengatakan pembangunan tersebut harus dibatalkan lantaran Pulau G masuk ke dalam kategori pelanggaran berat yang bakal mengancam lingkungan hidup, proyek vital strategis, pelabuhan, serta lalu lintas laut.
Selain itu, Rizal menuturkan, nelayan pun akan kesulitan berlabuh ke Muara Angke, Jakarta Utara. Sebabnya, yang tadinya nelayan bisa lebih cepat mencapai Muara Angke, kini nelayan harus memutar dulu lewat daerah lain. "Jadi, perjalanan itu menghabiskan solar nelayan,"kata Rizal
ABDUL AZIS