TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Tri Wisaksana menyatakan sistem ganjil-genap yang akan diujicobakan mulai 27 Juli 2016 belum tepat dilaksanakan. Sebab, menurut dia, aspek sanksi serta pengawasan dari Dinas Perhubungan belum dirumuskan dengan baik.
"Kita tahu, soal 3 in 1 dan sterilisasi busway, pengawasannya oleh Polda Metro Jaya atau Dishub selalu keteteran," katanya. "Dulu ada sanksi satu juta rupiah untuk pelanggar jalur busway, kemudian setengah juta rupiah untuk sepeda motor, tapi sekarang udah tidak ada lagi. Apalagi kalau mau difungsikan (sistem) ganjil-genap."
Politikus PKS itu mengatakan instrumen sanksi dari Dishub belum tegas. "Kalau misalkan pada hari genap, yang menerobos ganjil, sanksinya seperti apa? Itu saya kira belum dirumuskan dengan baik oleh Dinas Perhubungan," ujarnya seusai rapat paripurna masa reses kedua DPRD DKI tahun anggaran 2016 pada Jumat, 22 Juli 2016.
Tri berpendapat, lebih baik program 3 in 1 diefektifkan sebelum beralih ke sistem electronic road pricing (ERP). Dia menilai, ERP merupakan sistem paling ideal. Sebab, dengan itu, pemerintah akan mendapatkan dana yang bisa dialokasikan untuk kendaraan umum.
Ia menyatakan Dishub belum menyiapkan alternatif lain jika sistem ganjil-genap ini tidak berhasil. Jumlah kendaraan umum yang tidak bertambah bisa jadi membuat masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke sepeda motor atau ojek. "Kenapa? Karena menggunakan sepeda motor jauh lebih gampang daripada kendaraan umum," ujarnya.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menghapus sistem pembatasan kendaraan dengan penumpang tiga orang atau 3 in 1. Penghapusan sistem itu dilakukan setelah ditemukan adanya eksploitasi anak oleh joki. Namun banyak pihak menyayangkan penghapusan 3 in 1. Sebab, yang seharusnya dibenahi adalah penertiban joki, bukan penghapusan sistem 3 in 1.
IDKE DIBRAMANTY YOUSHA|JH