TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Anti Mafia Narkoba merilis laooran adanya campur tangan aparat dalam penanganan perkara narkotika. Dari posko yang mereka buka, terdapat 38 kasus yang diduga melibatkan aparat.
Dari jumlah itu, koalisi merinci jumlah aparat yang diduga terlibat yaitu berasal dari Polri sebanyak 24 kasus, TNI (Satu kasus), BNN (3 kasus), petugas Lembaga Pemasyarakatan (2 kasus), Hakim (2 kasus), Jaksa (1 kasus), dan Satgas Kemenkumham (1 kasus).
“Untuk nama-nama (aparat) sampai hari ini akan kami verifikasi dulu dan apakah berkaitan satu dengan yang lain. Kami tidak mau terlalu cepat menyimpulkan. Waktunya belum tau sampai kapan karena (pengaduan) tidak hanya masuk ke KontraS,” kata Kepala Divisi Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS Putri Kanesia saat konferensi pers di kantor KontraS, Jakarta, Jumat, 19 Agustus 2016.
Menurut Putri, kasus terbanyak ditemukan di DKI Jakarta dengan total 13 kasus. Adapun kasus narkotika yang melibatkan aparat terjadi di Banten (1 kasus), Sumatera Utara (3 kasus), Aceh (1 kasus), Lampung (3 kasus), Nusa Tenggara Barat (1 kasus), Sulawesi Tengah (3 kasus), Sulawesi Selatan (1 kasus), Jawa Barat (2 kasus), Jawa Timur (2 kasus), Kalimantan Timur (1 kasus), dan tidak ada keterangan wilayah (2 kasus).
Jenis kasus pun beragam, di antaranya rekayasa kasus, kriminalisasi, penjebakan, pemerasan, pembiaran, pemufakatan jahat, dan penangkapan sewenang-wenang oleh aparat. Berdasarkan laporan masyarakat, paling banyak terjadi pemerasan, yakni 14 kasus.
Sayangnya, kata Putri, beberapa masyarakat enggan menindaklanjuti bukti yang mereka miliki ke jalur hukum. Alasannya, tidak ada jaminan dari negara bahwa masyarakat yang telah melapor tidak akan ditindaklanjuti dengan pemidanaan. Karena itu, Putri mendorong agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membuat satu sistem dan jaminan perlindungan bagi para pelapor.
“Tentunya kami ingin menindaklanjuti kasus tersebut ke pihak berwajib, tapi memang kami perlu jaminan dari aparat negara karena banyak di antaranya khawatir mereka akan dikriminalisasi ketika kasus ini mereka ungkap. Jadi, ada kecamasan dari masyarakat terkait dengan pelaporan ini,” jelas Putri.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Hendrik Jehaman mengatakan, advokat memiliki peran mulai dari penyidikan, persidangan, hingga eksekusi. Dengan demikian, advokat seperti jaksa atau pengacara yang menyalahgunakan kepercayaan masyarakat harus dikenakan sanksi pidana dan delik formil. Arti delik formil bahwa suatu tindak pidana telah terjadi tanpa perlu membuktikan adanya akibat.
“Jadi advokat ini juga harus dibersihkan,” ujar Hendrik.
Koalisi Anti Mafia Narkoba mendirikan Posko Darurat Bongkar Aparat di kantor KontraS sejak 4 Agustus 2016. Masyarakat dapat melaporkan ihwal keterlibatan aparat dalam kasus narkotika melalui posko itu. Kegiatan ini didukung oleh Pemuda Muhammadiyah, PERADI, dan LBH dengan turut membuka posko cabang di berbagai daerah.
LANI DIANA|JH