TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menghadiri sidang perdana pengujian perkara Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah terkait dengan cuti selama masa kampanye di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin, 22 Agustus 2016.
Ahok, dalam permohonannya, menyampaikan bahwa ia ingin Pasal 70 ayat 3 UU Pilkada yang mengatur soal cuti selama masa kampanye ditafsirkan sebagai hak yang sifatnya opsional. "Bukan saya meminta Pak Hakim supaya boleh tidak cuti kalau kampanye," kata Ahok.
Ahok menilai penafsiran cuti kampanye pada UU Pilkada Pasal 70 ayat 3 telah melanggar haknya sebagai gubernur, seperti yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat 4, untuk menjalankan pemerintahan sebagai hasil pemilihan yang demokratis. Ahok menyebutkan UU Pilkada mewajibkan dia cuti sejak 26 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017. Padahal, pada masa itu, sesuai konstitusi dia harus menjalankan fungsinya dalam pengawasan anggaran.
"Saya merasakan ketidakadilan apabila tanggung jawab saya sebagai gubernur dirampas oleh penafsiran terhadap norma dalam UU Pilkada," ujar Ahok.
Ahok juga menyampaikan, ia dipilih secara konstitusi untuk menjabat selama 60 bulan. Sedangkan jika harus mengambil cuti, masa jabatannya akan berkurang. Apalagi, kata dia, pemilihan DKI bisa saja terjadi dua putaran jika ada lebih dari tiga pasangan calon gubernur-wakil gubernur. "Kalau terjadi dua putaran, saya membaca tafsiran UU ini, saya dipaksa cuti hampir enam bulan. Tentu ini merugikan," tuturnya.
Terakhir, Ahok mengaku siap tidak melakukan kampanye bila dia diizinkan tidak mengambil cuti. Sebabnya, menurut dia, itu konsekuensi untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan menghindari konflik kepentingan.
FRISKI RIANA