TEMPO.CO, Jakarta - Penghuni apartemen Kalibata City mendatangani kantor pengelola untuk meminta penjelasan terkait penetapan biaya kelangkaan air secara sepihak oleh Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) Sementara, yang merupakan bentukan pengembang.
Sementara, PPRS yang berasal dari bentukan warga Kalibata City sendiri, merasa tidak pernah dilibatkan dalam keputusan tersebut.
"Mereka membuat keputusan telah terjadi kelangkaan air, yang menandatangani adalah PPRS Sementara," kata Ade Tedjo Sukmono, 53 tahun, Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan (P3SRS), saat dijumpai di Apartemen Kalibata City, Sabtu, 27 Agustus 2016.
Dalam pengelolaan apartemen Kalibata City, terdapat dua versi berdasarkan keanggotaannya, yakni yang dibentuk oleh pengembang dan dari penghuni apartemen.
PPRS Sementara mengatakan pengenaan tarif kelangkaan air karena pemasok air dari PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) tidak terpenuhi untuk kawasan Kalibata City. Sementara, penghuni mengatakan gangguan tersebut hanya terjadi selama satu bulan pada Juli lalu.
"Mereka menyalahkan Palyja bahwa kelangkaan air bersih karena kurang pasokan air dari Palyja. Padahal, kami sudah dikonfirmasi gangguan pasokan hanya terjadi satu bulan, tapi kenaikan tarif berlaku surut dari Januari 2015," kata Tedjo.
Salah seorang penghuni, Umi Hanik, mengatakan setiap bulannya ia rutin membayar pasokan air mengikuti tarif yang ditetapkan oleh Palyja sebesar Rp 7.450 per meter kubik. Namun, pada 22 Agustus lalu, PPRS Sementara mengeluarkan pemberitahuan secara mendadak bahwa setiap penghuni dikenakan biaya tambahan untuk kelangkaan air sebesar Rp 11.486 per meter kubik. Mereka diancam dengan pemutusan listrik jika tidak membayar pada September nanti.
Tak sampai di situ, Umi mengatakan beban biaya kelangkaan tersebut semakin tidak masuk akal karena beban yang diberlakukan oleh setiap penghuni berlaku surut sejak Januari 2015. Artinya, PPRS memaksa penghuni membayar tagihan selama 20 bulan ke belakang yang baru diberitahukan sekarang.
"Tidak ada sejarahnya kami harus membayar kekurangan selama 20 bulan terakhir sejak Januari 2015 hingga Agustus 2016. Tiba-tiba muncul pemberitahuan ada kekurangan. Ini sebenarnya menyalahi aturan normal," kata Umi.
Umi menghitung beban air yang ia gunakan setiap bulannya adalah sebanyak 22 kubik. Jika ia harus melunasi beban kelangkaan air, ia harus menanggung bebas sebesar Rp 18.936 per meter per kubik. Jika dikalikan dengan kebutuhan sebesar 22 kubik ler bulan, Umi harus membayar Rp 416.592 per bulan hanya untuk air saja.
"Itu sangat tidak masuk akal. Kalau perhitungan sederhana, jumlah itu sangat banyak pertanyaan," kata Umi Hanik.
Usaha untuk menemui kepala pengelola berujung sia-sia. Sebelumnya mereka dijanjikan akan dipertemukan hari ini. Namun, saat disambangi, kantor pengelola hanya ada petugas pelayanan.
Pantauan Tempo mendapati halaman kantor pengelola dipenuhi petugas pengamanan (satpam) dan puluhan penghuni yang protes. Mereka dijanjikan akan bertemu dengan pihak pengelola secara resmi pada Senin pekan depan.
LARISSA HUDA