TEMPO.CO, Jakarta - General Manager PT Prima Buana Internusa Evans Walat, pengelola apartemen Kalibata City, mengungkapkan alasan membebankan tarif kelangkaan air kepada penghuni apartemen di bilangan Jakarta Selatan tersebut. Menurut dia, masalah kelangkaan air di apartemen Kalibata City telah terjadi sejak 2013.
Evans mengatakan pengelola memiliki kontrak dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) untuk menyediakan air 3.500 meter kubik per hari bagi 13.500 unit. "Tapi Palyja belum mampu. Kadang hanya kasih 400 meter kubik per hari. Rata-rata dalam tiga tahun, mereka hanya bisa kasih 1.500 meter kubik per hari," ujar Evans saat dihubungi, Sabtu, 27 Agustus 2016.
Menurut Evans, pengelola telah berupaya membereskan persoalan kekurangan air tersebut dengan mendatangi Palyja. Pengelola dan Palyja akhirnya sepakat membangun dua booster pump (pompa air pendorong). "Setelah dipasang, pasokan air naik jadi sekitar 1.500 meter kubik. Minggu lalu, setelah kami ke Palyja lagi, naik jadi sekitar 2.000 meter kubik," katanya.
Baca: Penghuni Kalibata City Protes Biaya Kelangkaan Air
Namun, Evans berujar, karena pasokan air tetap kurang, pengelola terpaksa membeli air dari vendor. "Kalau pakai sumur dalam, tarifnya mahal. Karena warga butuh air, saya ambil langkah, kerja sama dengan beberapa vendor. Yang saya pakai salah satunya Aetra (PT Aetra Air Jakarta). Sumber airnya di Pasar Rebo (Jakarta Timur)," tuturnya.
Dalam sehari, menurut Evans, Aetra dapat memasok air hingga 150 tangki dengan volume 8 meter kubik per tangki. Harga air dari vendor itu per meter kubiknya, kata Evans, sebesar Rp 33.750. Sementara itu, harga air dari Palyja hanya Rp 7.450 per meter kubik. "Ada selisih Rp 26.300, mau bayar dari mana?" ujarnya.
Karena air dipakai penghuni, Evans menuturkan, biaya pembelian air tersebut ditanggung mereka. Selama tiga tahun terakhir, kata dia, biaya pembelian air yang mencapai sekitar Rp 33 miliar diambil dari iuran pemeliharaan lingkungan (IPL). "Kalau pakai IPL, tersedot dong IPL gara-gara air. Kerjaan lain, perbaikan, plumbing, enggak bisa," katanya.
Baca: Palyja Bantah Kenakan Tarif Kelangkaan Air di Kalibata City
Evans berujar, uang yang terkumpul dari IPL seharusnya digunakan untuk keperluan-keperluan darurat. Salah satunya perbaikan lift yang rusak. "Kalau nanti ada kondisi darurat, mau pakai apa? Sementara tabungan kita sudah habis, terpakai buat beli air. Saya melihat, ini tidak bisa didiamkan," tuturnya.
Evans pun akhirnya membebankan tarif kelangkaan air tersebut kepada penghuni apartemen sebagai jalan keluar dari masalah keterbatasan pasokan air. Adapun tarif yang dibebankan dihitung selama 18 bulan sejak Januari 2015. "Kenapa? Satu tahun saya tagih saja orang pada ribut. Apalagi kalau tiga tahun ke belakang," katanya.
Menurut Evans, tarif kelangkaan air tertinggi yang dibebankan kepada penghuni hanya sebesar Rp 2 juta. Sementara itu, yang terendah Rp 11 ribu. "Rata-rata terkena tarif Rp 200 ribu. Kalau di bawah Rp 250 ribu, penghuni mesti bayar sekali. Rp 250-500 ribu bisa dicicil tiga bulan, Rp 500 ribu-1 juta bisa dicicil enam bulan, Rp 1 juta lebih bisa dicicil 12 bulan."
Pagi tadi, penghuni apartemen Kalibata City memprotes penetapan biaya kelangkaan air secara sepihak oleh pengelola. Biasanya, menurut salah satu penghuni, Ade Tedjo Sumono, penghuni hanya dikenakan tarif Rp 7.450 per meter kubik. Namun, pada 22 Agustus, terdapat pengumuman setiap penghuni dikenakan biaya tambahan Rp 11.486 per meter kubik.
ANGELINA ANJAR SAWITRI