TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pengamat tata air berharap agar pemerintah DKI Jakarta fokus untuk membenahi pengelolahan daerah aliran sungai (DAS) agar insiden banjir tidak lagi terjadi. "Bicara hujan itu sama, jumlah airnya tak pernah berubah antara 600 mililiter hingga 800 mililiter untuk setiap musim," kata dosen hidrologi DAS Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Nana Mulyana Ariefjaya, kepada Tempo pada Ahad, 28 Agustus 2016.
Nana mengatakan banjir yang merendam Kemang kemarin, disebabkan hilangnya daerah resapan air. Praktis, air yang mengalir dari hulu Sungai Krukut melaju tanpa hambatan ke daerah hilir. Air menggerojok tak tertahan dan kemudian merendam daerah Jakarta Selatan karena sempitnya sungai.
Jika hal ini terus dibiarkan, akan menjadi ancaman bagi Jakarta. Artinya, banjir akan terus terjadi sepanjang pemerintah tak memperbaiki DAS di Jakarta. Karena idealnya, Jakarta harus memperbanyak resapan air.
Nana pernah mengadakan penelitian resapan air pada 2009 di Jakarta Selatan. Dia uji coba dengan membuat resapan air di kawasan Petogogan, Jakarta Selatan. Hasilnya, untuk mengendalikan debit air hujan, diperlukan satu resapan air untuk setiap lahan permukiman 200 meter persegi.
Kata dia, jika dihitung di seluruh Jakarta, dibutuhkan setidaknya 75 ribu resapan air untuk disebar ke semua wilayah. Dia memperkirakan setiap resapan air yang dibuat dapat menghambat setidaknya 70 persen air hujan masuk ke tanah. Sehingga air tidak seluruhnya turun ke hilir dan menyebabkan banjir.
Nana menjelaskan pihaknya tak memerlukan lahan luas untuk membangun resapan air. Masyarakat hanya memerlukan anggaran Rp 3 juta untuk menerapkan teknologi resapan itu. Nantinya resapan air bisa ditempatkan di masing-masing rumah warga, trotoar, taman, dan berbagai tempat publik lainnya.
Kebijakan ini pernah ia uji coba pada 2009 bersama Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan. Sayangnya penelitian itu terhenti karena pemerintah berganti gubernur. "Memang dibutuhkan keberpihakan pemerintah untuk menerapkan sistem ini," ujarnya.
Pengamat tata kota, Yayat Supriyatna, sepakat penyebab banjir di Kemang kemarin akibat dari menyempitnya saluran air di Jakarta. Dia menduga ada pelanggaran tata ruang yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta. Karena kawasan hunian berubah fungsi menjadi area komersial dan area resapan air dijadikan apartemen hingga mal.
Menurut dia, banjir tersebut masih terbilang kecil dibanding dengan dampak kerusakan tata ruang Jakarta Selatan. Diperkirakan bakal ada lagi banjir susulan yang merendam Jakarta. Ini menepis pernyataan Basuki bahwa Jakarta telah terbebas dari banjir. "Desember itu mulai puncak hujan, banjir Jakarta bakal jadi komoditas politik tuh," katanya.
Justru, kata dia, puncak musim hujan di Jakarta akan terjadi mulai dari Desember hingga Februari. Tentunya intensitas curah hujan akan lebih tinggi dibanding sebelumnya. Jika tak segera diatasi, masyarakat akan mempertanyakan kinerja Ahok terkait dengan upaya mengatasi banjir di Jakarta.
AVIT HIDAYAT