TEMPO.CO, Jakarta - Ahli forensik dan toksikologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Budi Sampurna, menceritakan kronologi kematian korban pembunuhan, Wayan Mirna Salihin, pada 6 Januari 2016. Menurut dia, sejak tiba di Rumah Sakit Abdi Waluyo pada pukul 18.00 WIB, Mirna sudah dalam keadaan meninggal secara klinis.
"Sejak awal, memang sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan pada Mirna," kata Budi ketika bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu, 31 Agustus 2016. Dalam kasus ini, Jessica Kumala Wongso, kawan Mirna yang memesan es kopi Vietnam di kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, ditetapkan sebagai terdakwa. Jessica diduga menjadi pembunuh Mirna dengan cara mencampurkan racun sianida ke kopi untuk Mirna.
Menurut Budi, setelah Mirna tiba di rumah sakit, dokter jaga melakukan tindakan pertama: pertolongan. Hal ini membuat Mirna kembali dalam keadaan sadar.
Dokter menunggu hingga 15 menit kemudian, tapi tak kunjung ditemukan tanda-tanda kehidupan. Hingga akhirnya pada pukul 18.30 WIB, dokter mengumumkan bahwa Mirna sudah dipastikan meninggal. "Dari keterangan keluarga saat itu, Mirna habis minum es kopi," ucapnya.
Saat itu, ujar dia, dokter tidak serta-merta memeriksa penyebab meninggalnya Mirna. Mengingat kematiannya dalam waktu sangat cepat dan janggal, dokter kemudian melapor ke polisi agar diselidiki penyebab kematiannya.
Secara prosedur, pihaknya diwajibkan melapor ke polisi jika ditemukan tanda-tanda pembunuhan. Menurut dia, dokter tak berani memeriksa mayat korban tanpa menunggu polisi datang.
Pihaknya juga tak memeriksa darah korban karena saat itu polisi belum datang ke rumah sakit. "Di Indonesia terlalu formal, sehingga dokter kurang sensitif untuk memeriksa dan mengambil darah," tutur Budi.
Kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, mempertanyakan alasan penyidik tak memeriksa darah Mirna saat itu. Kepolisian hanya mendapatkan sampel pemeriksaan lambung, hati, empedu, liver, dan urine korban.
Otto juga mempertanyakan alasan dokter tidak mengotopsi jenazah Mirna. Dokter hanya memeriksa secara sampel beberapa organ tubuh Mirna. Tapi, menurut Budi, hal itu karena keluarga tidak setuju jenazah Mirna diotopsi.
Budi mengatakan pemeriksaan melalui metode sampel tersebut dianggap cukup untuk menjelaskan penyebab kematian Mirna. Sebab, ia juga mencari rangkaian peristiwa terbunuhnya Mirna dari berbagai aspek, mulai hasil rekaman circuit-closed television (CCTV) hingga es kopi Vietnam yang mengandung sianida.
Dokter juga menemukan adanya pembengkakan dalam bibir Mirna. Ini disebabkan oleh adanya luka karena sianida. Racun itu kemudian masuk lambung korban, lalu diserap oleh darah dan mengikat oksigen. Jadi pasokan oksigen yang diproduksi darah tidak terdistribusi ke seluruh organ tubuh.
AVIT HIDAYAT