TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya, Habiburokhman, turut hadir dalam judicial review atau uji materi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah mengenai cuti selama masa kampanye di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat. Ia datang bersama organisasi masyarakat Advokat Cinta Tanah Air (ACTA).
Mengenakan jas hitam, Habiburokhman duduk di kursi tamu tepat di belakang kursi tempat pemohon, dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Seusai persidangan, Habiburokhman mencatat tiga kekeliruan yang disampaikan Ahok saat pembacaan perbaikan uji materinya itu.
"Ya, ada tiga kesalahan: salah kutip yurisprudensi, salah baca data, dan salah kutip undang-undang," katanya di Mahkamah Konstitusi, Rabu, 31 Agustus 2016.
Baca:
Sidang Uji Materi UU Pilkada, Ahok Kembali Didampingi Rian
ACTA Protes Ahok Pakai Fasilitas Negara Saat Uji Materi
Diprotes Uji Materi Pakai Fasilitas Negara, Ini Jawaban Ahok
Soal kesalahan yurisprudensi, Habiburokhman menilai Ahok tidak bisa membedakan mana yang dinamakan identitas dan kapasitas. Dalam pembacaan materi tentang kedudukan hukum pemohon, Ahok menyebutkan legal standing yang diatur dalam Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, ia adalah seorang warga negara Indonesia yang sedang menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Menurut Habiburokhman, identitas Ahok sebagai Gubernur DKI melekat selama 24 jam. Sedangkan kapasitas adalah hal yang berbeda. Ahok tidak bisa menggunakan kapasitasnya sebagai gubernur saat waktu tertentu, termasuk saat mengajukan uji materi ke MK.
Habiburokhman mencontohkan, saat Ahok membeli mobil, ia tidak bisa dikaitkan dengan kapasitasnya, sehingga ia dianggap memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Jadi ini enggak ada hubungannya dengan rakyat DKI Jakarta dan jabatan gubernur. Ahok sebagai pribadi titik, itu saja. Harus dibedakan antara identitas dan kapasitas," ucap Habiburokhman.
Selain itu, kesalahan data terjadi saat Ahok menyebutkan dirinya harus cuti selama enam bulan jika pilkada 2017 berjalan sebanyak dua putaran. Menurut Habiburokhman, kalau pilkada berjalan dua putaran, ia hanya cuti selama 119 hari.
"Yang empat bulan di putaran pertama, sementara di putaran kedua cuma sepuluh hari masa kampanye," tuturnya. Kesalahan lain adalah pernyataan hak cuti yang disebutkan oleh Ahok lebih mengacu terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan, bukan Undang-Undang Pemilihan Umum.
LARISSA HUDA