TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pimpinan Wilayah DKI Jakarta Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Muhammad Taher menilai keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan melanjutkan poyek pembangunan reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta, termasuk Pulau G, sebagai bentuk penzaliman.
"Ini penzaliman, tidak mengacu pada undang-undang yang berlaku. Pak Luhut tidak patuh terhadap hukum di negeri," kata Taher kepada Tempo, Jumat, 9 September 2016.
Taher menilai keputusan Luhut sama sekali tidak memberikan solusi terhadap kehidupan para nelayan Jakarta. Selain itu, dia menilai kebijakan Luhut juga bertolakbelakang dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. "Bukan solusi tapi masalah. Laut diuruk tanpa sosialisasi, sampai hari ini keluar masuk nelayan sulit," kata dia.
Baca: Luhut: Tak Ada Masalah dengan Reklamasi Pulau G
Menurut Taher, keputusan tersebut juga tidak taat terhadap undang-undang lingkungan hidup mengenai dampak lingkungan. Taher mengatakan, dalam mengambil kebijakan, mestinya Luhut mengacu pada hasil keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang membatalkan surat keputusan izin reklamasi Pulau G, pada 31 Mei 2016. Sebab, selama ini pihak pengembang pulau itu tidak dapat menunjukkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) di persidangan.
"Padahal itu sangat penting, karena seluruh UU Internasional (amdal) itu kan dipakai. Kenapa di negeri ini tidak memakai?" ujarnya.
Baca: Ini Pelanggaran Berat Proyek Reklamasi Pulau G
Taher menuturkan, pihaknya akan memperjuangkan hak para nelayan dengan berencana menggugat keputusan pemerintah pusat jika semata-semata tidak ada kepentingan untuk masyarakat. Dalam waktu dekat, ia juga akan menyampaikan aspirasi ke Istana untuk melihat keseriusan pemerintah dalam memberdayakan nelayan Jakarta.
FRISKI RIANA