TEMPO.CO, Jakarta - Lorong gang permukiman di bantaran Kali Ciliwung itutampak seperti tak dihuni. Pukul setengah satu dini hari, Rabu, 28 September 2016, angin kencang menusuk tulang, jalanan becek sisaan hujan. Deretan rumah di kanan-kiri diterangi lampu jalan putih temaram.
Sebagian rumah masih berdiri tegak, sebagian lagi telah roboh dan terbongkar. Di poskamling oranye yang berjarak 500 meter dari mulut gang, Daliman, 42 tahun, dan keluarganya terbaring.
Raut wajah pria yang bekerja sebagai tukang potong ayam itu terlihat lelah. Di sisi kirinya, istri dan anak laki-lakinya tidur berselimut kain batik tipis. Dua tas besar dijadikan bantal. Ini malam terakhir rumahnya berdiri tegak.
Daliman dan keluarga memilih bermalam di lokasi eksekusi. Permukiman RT 5/RW12 Bukit Duri, tempat tinggalnya selama belasan tahun, akan diratakan pukul 7, Rabu pagi. "Saya baru beres pindahan ke kontrakan baru, sengaja tidur di sini mau liat rumah saya dieksekusi," katanya di pagi yang gelap dan dingin itu.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggusur kawasan Bukit Duri setelah surat pemberitahuan ketiga dilayangkan. Penggusuran itu, kata Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, merupakan rangkaian proyek normalisasi Kali Ciliwung. Namun penggusuran itu banyak mendapatkan perlawanan, dan didukung tokoh seperti Romo Sandyawan dan Jaya Suprana.
Daliman menunjuk rumah bercat hijau satu lantai, tepat di seberang poskamling, tempatnya menghabiskan sisa malam. Pria berkaus hitam dengan celana pendek cokelat itu sudah pasrah. "Pemerintah ke rakyat kecil kurang kebijaksanaannya, nggak kasihan," ujar dia sembari mengelus dada.
Tak pernah dia bayangkan akan terusir dari rumahnya sendiri, tanpa ganti rugi. Daliman pun enggan mengambil jatah rusun Rawabebek, satu-satunya opsi yang diberi. "Saya sudah terlanjur kesal."
Daliman kecewa diperlakukan semena-mena sebagai warga negara. Padahal setiap tahun pajak bangunan rumahnya tak lupa dia setor, namun kata dia kini seolah tak ada artinya.
Kedatangan mesin dengan tangan-tangan besi amunisi penggusuran sejak sore ditambah kepungan puluhan aparat, tak memungkinkan perlawanan."Percuma lawan secara fisik nggak bakal menang," ujarnya.
Daliman dan para tetangganya sepakat menempuh jalur hukum di pengadilan. Berbekal sertifikat lahan miliknya, dia percaya keadilan itu masih berdiri. "Saya punya bekal kuat, mudah-mudahan dapat ganti rugi."
GHOIDA RAHMAH