TEMPO.CO, Bekasi - Masyarakat di sekitar tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantargebang mendesak pemerintah DKI menyediakan layanan pendidikan di kawasan tersebut. Layanan itu penting karena belasan ribu keluarga di sana merasakan langsung dampak adanya tempat pembuangan sampah warga DKI.
"Bantuan pendidikan belum dirasakan di sana," kata ketua Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Bantargebang, Abdul Somad, Kamis, 13 Oktober 2016. Menurut dia, selama ini bantuan yang paling getol ialah pembangunan fasilitas umum dan sosial seperti jalan maupun pos pelayanan terpadu.
Menurut dia, dana infrastuktur tersebut diambil dari community developmnet sebesar Rp 100 ribu per tiga bulan. Sedangkan, penduduk menerima konpensasi uang bau sebesar Rp 200 ribu per tiga bulan. Sebetulnya, kata dia, dana konpensasi itu tak sebanding dengan resiko masyarakat yang diterima dengan adanya TPST Bantargebang. "Kami meminta sampah ditukar dengan pendidikan," kata dia.
Alasannya, kata dia, masih banyak anak-anak di sana yang tidak mendapat pendidikan secara laik. Ironisnya, hal itu sudah berlangsung selama 30 tahun sejak adanya tempat sampah raksasa milik DKI. "Sangat banyak dampak negatif akibat keberadaan tempat sampah itu," ujar Somad.
Berdasarkan catatan ada puluhan sekolah negeri maupun swasta tersebar di tiga kelurahan. Di antaranya Kelurahan Ciketing Udik, Cikiwul, dan Sumur Batu. Sekolah tersebut di antaranya 26 sekolah dasar, tujuh sekolah menengah pertama, satu sekolah menengah atas, dan empat sekolah menengah kejuruan.
Sekretaris Aliansi itu, Agus Hadi Prasetyo, mengatakan sedikitnya ada lima permintaan warga ihwal pendidikan di sekitar TPST Bantargebang. Tuntutan itu ialah pembangunan gedung sekolah dari tingkat SD hingga SMA/SMK dengan standar internasional, pembebasan seluruh biaya operasional sekolah.
Penyediaan sarana angkutan bus sekolah di masing-masing kelurahan, pengadaan program beasiswa untuk siswa berprestasi ke jenjang universitas dan penyelenggaraan program kejar paket A,B dan C secara gratis. "Usulan kami sampaikan melalui DPRD Kota Bekasi untuk disampaikan ke DKI Jakarta," kata dia.
Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kota Bekasi, Ariyanto Hendrata, mengatakan, wajar masyarakat di sekitar TPST Bantargebang menuntut hal itu. Menurut dia, tuntutan tersebut merupakan harapan yang harus diperjuangkan mengingat mereka selama ini menjadi 'korban' adanya TSPT milik DKI itu.
"Mereka sudah menyampaikan aspirasinya," kata Ariyanto. Hanya saja, kata dia, pihaknya masih menginventarisasi sejumlah aspirasi masyarakat yang berada di tiga kelurahan di sekitar TPST Bantargebang, setelah itu usulan tersebut harus dimasukkan ke dalam perjanjian kerja sama antara pemerintah Kota Bekasi dan DKI Jakarta.
"Semua usulan harus masuk ke dalam adendum, karena harus ada ikatan sehingga menjadi kewajiban DKI," kata dia. Pihaknya saat ini masih menunggu respon dari DKI ihwal usulan yang diajukan oleh Kota Bekasi. Menurut dia, perjanjian tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPRD, sehingga apabila dalam MoU butuh penambahan klausul seperti pendidikan, DPRD berhak memberikan penambahan.
ADI WARSONO