TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Syaiful Bakhri mengatakan permohonan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke Mahkamah Konstitusi terkait izin cuti inkumben tidak beralasan hukum. "Cuti inkumben di saat kampanye adalah keharusan untuk meminimalisasi potensi korupsi," kata Syaiful saat menjadi saksi ahli di sidang Mahkamah Konsituti pada Rabu, 19 Oktober 2016.
Syaiful mengatakan tak setuju dengan usulan Ahok agar Mahkamah Konsititusi membatalkan kewajiban gubernur yang masih menjabat mengajukan cuti saat kampanye untuk pemilihan periode kedua. Dikhawatirkan calon yang masih menjabat dapat menyalahgunakan wewenangnya sebagai gubernur jika masih tetap bekerja dan tak mengajukan cuti. Yang paling krusial, kata dia, akan mengakibatkan pada potensi korupsi karena kewenangannya sebagai seorang kepala daerah.
Karena itu, ia menganggap dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dapat mengekang penyalahgunaan kekuasaan dengan cara cutinya inkumben. Menurut dia, ketentuan ini sedikit lebih ringan dibanding tuntutan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mewajibkan calon inkumben mundur dari jabatannya.
Dari pengalaman dia, ada banyak kasus inkumben yang mengerahkan PNS dan menyelewengkan anggaran, serta fasilitas untuk memenangkan inkumben. Menurut Syaiful, ketentuan tentang cuti inkumben adalah kewajiban yang harus dilakukan seorang kepala daerah jika ingin maju lagi.
Dia membeberkan sejumlah bahaya lain jika pasangan inkumben tidak cuti saat kampanye. Pertama, ada kemungkinan kepala daerah menerima dana kampanye dari sumber terlarang. Dia menyebut di banyak daerah sering terjadi pengusaha membiayai inkumben, kemudian setelah menang, mereka memanen hasilnya.
Kedua, calon inkumben juga dapat menyalahguakan fasilitas negara dan jabatan untuk keperluan kampanye pemenangan. Catatan pemilu di negara mana pun, kata Syaiful, banyak yang memanfaatkan jabatan untuk memenangkan pemilu.
Ketiga, yakni kemungkinan adanya pembelian suara atau money politics. Biasanya calon inkumben, menurut Syaiful, melakukan praktik penyuapan hingga level yang paling bawah. "Tentu jika ketiga potensi ini terjadi maka tak akan melahirkan pemerintahan yang bersih," ucap dia.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama hanya tersenyum dan melontarkan beberapa kalimat sanggahan. "Baca nama saya saja salah kok nyebutin data," kata dia dalam persidangan. Sebelumnya, pihak terkait salah menyebut nama Basuki Tjahaja Purnama menjadi Basuki Tjayadi Purnama.
Agenda sidang hari ini adalah meminta keterangan saksi ahli dari pihak terkait. Dalam sidang itu juga dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah pusat, kemudian perwakilan dari Teman Ahok, dan Gubernur Basuki, yang mengajukan penghapusan pasal cuti inkumben.
Sidang dihentikan dan akan dilanjutkan beberapa waktu mendatang untuk menghadirkan saksi ahli lagi.
AVIT HIDAYAT