TEMPO.CO, Tangerang - Pengamat sampah perkotaan dari Universitas Gajah Mada, Sodiq Suhardianto, menilai ada yang salah dalam manajemen pengelolaan sampah di Bandar Udara Soekarno-Hatta, yang menyebabkan sampah bermuara ke Tempat Pembuangan Sampah Liar di sekitar bandara.
"Semestinya pengelola bandara melakukan treatment dan pengolahan sampah itu," ujarnya kepada Tempo, Kamis, 17 November 2016.
Pengamat sampah dari Pusat Pengkajian Persampahan Indonesia (PPPI) ini mengatakan sampah bandara yang berasal dari airside (pesawat dan apron) dan lineside (perkantoran dan tenant) mengandung limbah berbahaya dan beracun.
Sehingga, kata dia, jika sampah itu tidak diolah, akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat.
Limbah sampah, kata Sodiq, mengandung methan (C4) yang bisa merusak ozon 21 kali lipat lebih tinggi daripada karbon dioksida (CO2). Zat methan, menurut dia, juga berdampak buruk terhadap kesehatan manusia karena bisa menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Selain itu, menurut Sodiq, sampah pesawat semestinya dimusnahkan karena dikhawatirkan mengandung vektor, bakteri, atau virus yang berbahaya. "Aturan mengharuskan dimusnahkan," katanya.
Karena itu, Sodiq melanjutkan, PT Angkasa Pura II, selaku pengelola dan penanggung jawab sampah di Bandara Soekarno-Hatta, tidak melakukan pengolahan sampah sesuai dengan standar yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. "Ancamannya bisa dipidana," katanya.
Sanksi pidana karena tidak mengolah sampah diatur dalam Pasal 40, 41, dan 42 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008. "Sanksinya pidana 4 sampai 10 tahun dan denda Rp 100 juta sampai Rp 5 miliar," ujarnya.
Sampah Bandara Soekarno-Hatta diduga diperjualbelikan kepada bandar pengepul sampah di sekitar bandara.
Berdasarkan penelusuran Tempo, tidak semua sampah bandara dimusnahkan ke mesin insinerator bandara, tapi sebagian sampah itu singgah ke lapak sampah milik warga.
Di Kelurahan Belendung, Kota Tangerang, Banten, misalnya, ada 300 jiwa yang sudah sejak 20 tahun terakhir menggantungkan hidupnya dari sampah bandara. Di lokasi ini ada puluhan lapak sampah yang membeli sampah bandara seharga Rp 500 ribu-Rp 800 ribu per truk.
Sampah yang mereka beli bernilai ekonomi tinggi, seperti gelas kristal, koran, botol air mineral, kain, dan tisu. "Sampah yang kami beli rata-rata dari apron bandara," kata Achmad Haris, salah seorang warga yang membeli sampah bandara.
Haris mengatakan praktek jual-beli sampah bandara itu sudah berjalan sejak 1990-2016. "Tapi baru satu bulan ini dihentikan," tuturnya.
Legal Manager Bandara Soekarno-Hatta Dedi Al Subur mengakui, semua sampah di bandara yang bertanggung jawab adalah pengelola bandara. "Karena amdalnya adalah bandara dan Angkasa Pura II sebagai penanggung jawab kawasan," katanya.
Tapi, kata Dedi, selama ini Angkasa Pura II hanya bertanggung jawab terhadap sampah yang berasal dari airside. "Dan itu kami pastikan semuanya dimusnahkan. Kami melakukan pengawasan dari proses pengangkutan hingga pemusnahan," ujarnya.
Sementara untuk sampah lineside yang berasal dari perkantoran dan tenant, menurut Dedi, selama ini sampah dibuang ke luar tanpa ada pengawasan dan proses.
"Ini karena keterbatasan mesin insinerator, dan setiap perusahaan memang melakukan pembuangan sampah sendiri," katanya. Dia mencontohkan, ACS, perusahaan katering dan groundhandling, membuang sendiri sampahnya dan ada penampungan sendiri.
JONIANSYAH HARDJONO