TEMPO.CO, Jakarta - Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tak akan cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan kota seperti berbagai proyek strategis, termasuk infrastruktur. Menurut pakar tata kota dari Universitas Trisakti Jakarta, Yayat Supriyatna, pemerintah daerah perlu menggandeng swasta untuk mempercepat pembangunan.
Keterlibatan swasta dalam berbagai program pemerintah bisa dilakukan melalui berbagai cara. Di antaranya program tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR). Yayat mencontohkan pembinaan pedagang kecil yang bekerja sama dengan program pemberdayaan dari perusahaan.
Baca: Naik Tipis, Begini Postur APBD DKI Jakarta 2017
Berikutnya penggunaan Peraturan Gubernur Nomor 119 Tahun 2016 yang di dalamnya mengatur pola kompensasi atau kontribusi terkait dengan pengaturan insentif ketinggian bangunan. Dengan kontribusi itu, swasta bisa berperan membangun infrastruktur, jalan, rumah susun, membeli bus, fasilitas taman, dan lainnya.
Contoh terbaru, kata Yayat, adalah pembangunan fasilitas publik seperti ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) Kalijodo dan jembatan di Semanggi. "Yang terpenting semua pemanfaatan terintegrasi dalam rencana kerja pemerintah dan transparan sehingga terpercaya," kata Yayat saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 25 Januari 2017.
Program CSR, kata Yayat, seharusnya menjadi bagian strategi pengembangan jaringan ekonomi dan sistem produksi. Berdasarkan data Pemerintah Jakarta, 64 persen anggaran DKI Jakarta 2017 sudah terbagi untuk keperluan di luar belanja modal.
Simak: Lelang Proyek Rp 4 Triliun Ini Diminta Distop, Ada Apa?
Rinciannya, belanja tidak langsung yang di dalamnya terdapat belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah dan bantuan sosial mencapai Rp 27,6 triliun di 2017.
Sementara itu belanja barang dan jasa tercatat Rp 20,4 triliun, hanya terpaut tipis dari belanja modal. Dikutip dari laman www.jakarta.go.id, jumlah APBD Jakarta 2017 mencapai Rp 68,6 triliun, naik tipis dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp 67,2 triliun.
Dana yang dialokasikan untuk belanja modal tercatat Rp 24,7 triliun atau 36 persen dari total anggaran 2017. Jumlah belanja modal ini memang lebih tinggi dibanding tahun lalu sebesar Rp 16,2 triliun. Namun, kenaikan jumlah belanja modal ini belum mampu menutup kebutuhan pembangunan fisik dan penyelesaian berbagai persoalan sosial DKI Jakarta yang jumlahnya jauh lebih besar.
Pakar lainnya mengatakan, pola kerja sama pemerintah daerah dan swasta yang saling menguntungkan juga dapat dilakukan dalam mengembangkan kawasan pertumbuhan baru.
Hernawan Mahfudz, pakar dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung, memberi contoh di Jakarta Utara pengembangan kawasan baru melalui reklamasi 17 pulau yang disinergikan dengan tanggul raksasa (Giant Sea Wall).
Hermawan menjelaskan, pengembangan kawasan baru di Teluk Jakarta yang melibatkan swasta akan memangkas kesenjangan antara wilayah selatan dan utara. "Kondisi ini sama dengan apa yang terjadi dengan Provinsi Banten yang memiliki kesenjangan antara Tangerang Selatan dan Tangerang Utara," kata Hernawan.
Selama ini kondisi ekonomi dan sosial antara wilayah selatan dan utara Tangerang sangat timpang. Karenanya, pengembangan kawasan baru di bagian utara Tangerang diharapkan akan mendorong kehidupan ekonomi dan sosial di wilayah tersebut. "Begitu pula dengan Jakarta. Sementara berbagai persoalan ekonomi, lingkungan, dan sosial terus bermunculan seiring peningkatan jumlah penduduk di ibu kota," kata Hernawan.
ANTARA