TEMPO.CO, Jakarta - Mahfudoh, ibu Eno Farihah, karyawan pabrik plastik di Kosambi, Kabupaten Tangerang yang dibunuh dengan sadis, berharap majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada dua terdakwa pembunuh anaknya. Dua terdakwa pembunuh Eno, Rahmat Arifin bin Hartono dan Imam Harpriadi bin Muki alias Gemuk dijadwalkan mendengarkan vonis hakim hari ini, Rabu, 8 Februari 2017.
"Jika perlu hukuman berat melebihi hukuman mati," kata Mahfudoh kepada Tempo di Pengadilan Negeri Tangerang. Keluarga dan kerabat Eno yang selalu mengikuti sidang ini, memenuhi ruang sidang 5 di gedung Pengadilan Negeri Tangerang tempat majelis hakim akan membacakan vonis.
Baca : Dua Terdakwa Pembunuh Eno Farihah Hadapi Vonis
Dengan suara bergetar, wanita setengah baya yang mengenakan gamis dan kerudung warna hitam ini mengatakan jika perbuatan para terdakwa sangat sadis dan keji. "Kalau langsung dibunuh mungkin tidak seberapa, tapi anak saya disiksa dan diperlakukan sangat tidak manusiawi," kata dia.
Apalagi, kata Mahfudoh, Eno adalah anak yang baik, sopan dan ramah. "Bukan anak yang judes atau kegenitan, tapi mengapa mereka tega berbuat keji itu," ujar wanita paruh baya ini.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang akan menjatuhkan vonis terhadap dua terdakwa. Sebelumnya jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Tangerang menuntut Arifin dan Imam dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati. Hingga pukul 12.15 WIB siang ini, persidangan belum juga berjalan. Padahal, dijadwalkan pukul 10.00 WIB.
Eno Farihah, 19 tahun, karyawan pabrik plastik di Kosambi diduga dibunuh secara sadis oleh Imam, Arifin, dan RAI. RAI, 15 tahun, sudah lebih dulu menerima vonis selama 10 tahun penjara oleh pengadilan. RAI sempat mengajukan banding, namun ditolak.
Tiga pelaku yang mengaku tidak saling kenal ini diduga melakukan pembunuhan disertai kekerasan seksual yang ekstrim terhadap korban di kamar mess PT Poly Global Mandiri di Desa Jati Mulia, Kosambi. Pembunuhan terjadi pada Kamis malam, 12 Mei 2016 lalu.
JONIANSYAH HARDJONO