TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum dijadwalkan menghadirkan empat ahli dalam lanjutan sidang kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hari ini, Senin, 13 Februari 2017. Sidang berlangsung di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan.
Seperti sebelumnya, sidang kesepuluh ini dijadwalkan mulai pukul 09.00. Arus lalu lintas di depan gedung Kementerian Pertanian, tepatnya di Jalan Harsono yang mengarah ke Ragunan, sudah ditutup untuk kendaraan umum ataupun bus Transjakarta. Sidang yang biasanya digelar setiap Selasa, kini dimajukan ke Senin karena pada hari Rabu akan berlangsung pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI.
Baca: Empat Saksi Ahli dalam Sidang Ahok, Siapa Saja Mereka?
Menurut kuasa hukum Ahok, Humphrey R. Djemat, empat orang saksi yang dihadirkan JPU merupakan para ahli. Seperti Muhammad Amin Suma, seorang ahli agama islam; Mudzakkir, ahli hukum pidana; Abdul Chair Ramadhan, ahli hukum pidana; dan Mahyuni, ahli bahasa Indonesia. "Dua ahli hukum pidana masing-masing Mudzakkir dan Abdul Chair Ramadhan," kata Humphrey dalam keterangan tertulis.
Humhprey menjelaskan, Muhammad Amin Suma merupakan ahli yang melaksanakan tugas berdasarkan surat tugas dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 8 November 2016. Sedangkan Mudzakkir adalah seorang ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) yang kerap menjadi saksi ahli di persidangan, termasuk persidangan Jessica Kumala Wongso.
Baca: Sidang Ahok, LPSK Ingatkan Azas Persamaan Hukum bagi Saksi
Dalam sidang Selasa, 7 Februari 2017, JPU juga menghadirkan empat saksi, yaitu dua saksi fakta dan dua ahli. Mereka di antaranya Jaenudin alias Panel bin Adim dan Sahbudin alias Deni yang merupakan nelayan di Kepulauan Seribu. Sedangkan dua orang ahli yang dihadirkan, yaitu Hamdan Rasyid, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, dan Nuh, seorang ahli laboratorium kriminalistik.
Ahok terjerat kasus penistaan agama karena pernyataannya dalam sebuah forum di Kepulauan Seribu pada Oktober 2016. Ahok dikenakan dakwaan alternatif, yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sedangkan menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
EGI ADYATAMA | ANTARA