TEMPO.CO, Jakarta - Pagi masih buta, matahari baru mulai menyingsing. Seorang nelayan Muara Baru, Jakarta Utara, melihat kerumunan datang ke arahnya. Ia sempat silap, menerka-nerka datangnya seorang pejabat. "Iya saya pernah lihat di televisi, itu bu Susi," kata Fahmi, 29 tahun, seorang ABK nelayan saat melihat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada Kamis pagi, 2 Maret 2017.
Ia sedikit kaget dengan kadatangan Susi yang mendadak ke Pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara. Seketika puluhan nelayan mengerubuti perempuan asal Pangandaran tersebut. Susi bicara ceplas-ceplos dengan aksen Jawa-Indonesia. "Kudu ndue asuransi, nek mati nang laut dapat Rp 200 juta, (kalian harus punya asuransi, kalau meninggal di laut saat bekerja mendapat asuransi Rp 200 juta)," kata Susi.
Susi menjelaskan tentang pentingnya asuransi bagi nelayan. Kata dia, pemilik nelayan wajib memberikan asuransi jiwa dan kesehatan. Susi banyak bicara tentang hal itu. Nelayan, termasuk Fahmi hanya manggut-manggut. Ia sendiri tak terlalu paham dengan asuransi. Bosnya, pemilik kapal asal Juwana, Pati juga tak pernah menawarinya asuransi.
Susi kemudian naik memeriksa geladak kapal. Ia membuka lambung Kapal Motor (KM) Sido Tambah Sentosa 01 yang terparkir di bibir dermaga. Di papan dekat pintu, tertulis berat kapal 98 gross tonage (GT). Sementara di lambung kapal telah terisi sekitar 80 ton ikan cakalang. Ada sisa ruang yang belum terisi penuh. Susi curiga kapal itu seberat lebih dari 120 GT.
Ia memanggil anak-buahnya untuk memeriksa kapasitas kapal itu. Kepala Pangkalan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Jakarta, Pung Nugroho melaporkan ke Susi, kapal itu seberat 195 GT. Pemilik kapal diduga telah mark down atau memanipulasi berat kapal agar lebih murah membayar pajak. "Ada sekitar 700 kapal yang melakukan mark down seperti ini," kata dia membeberkan.
Riwayat kapal itu pernah tenggelam pada 2012. Kemudian pemilik kapal membuat kapal baru, dan menggunakan identitas kapal yang tenggelam. KM Sido Tambah Sentosa hanya memiliki izin 98 GT. Kapal itu memiliki izin untuk menangkap ikan cakalang di perairan Sumatera Selatan.
Fahmi dan puluhan temannya hanya terdiam. Susi sempat berbincang dengan Nahkoda kapal, Purwanto yang saat itu berada di lokasi. Mereka mengaku tak mengetahui adanya mark down izin kapal. "Saya baru 8 bulan ikut kapal ini," tutur Fahmi.
KKP kemudian menyita kapal tersebut dan berencana memeriksa sejumlah ABK termasuk nahkoda dan pemilik kapal. Susi meminta agar anak-buahnya mendalami modus ini. Selain itu, ia juga meminta Pung Nugroho untuk menelusuri adanya pengusaha asing yang masuk membeli kapal nelayan.
Susi juga meminta agar KKP menjamin tidak ada pungutan liar di laut maupun di pelabuhan. Namun di tempat terpisah, Fahmi mengeluhkan masih adanya pungutan liar oleh polisi air dan TNI. "Mereka memang sudah tidak meminta uang, tapi mereka minta barang, minta ikan, dan minta bensin," tutur Fahmi kepada Tempo.
Menurut dia, upaya pemerintah memberantas pungli belum maksimal. Masih banyak oknum petugas keamanan yang meminta barang. Fahmi memberi mereka ikan seberat 10 kilogram setiap bersandar. Selain itu, dia juga melihat polisi meminta bensin kepada nelayan.
Sayangnya, pungutan itu belum sempat didengar Susi. Dia terlebih dulu buru-buru pergi meninggalkan lokasi. Fahmi juga belum berani melaporkan secara langsung saat itu. Mengingat ada sejumlah pihak yang ikut datang, termasuk polisi, TNI, dan dari KKP. Dia berencana mengirimkan pesan singkat ke bos SusiAir itu.
AVIT HIDAYAT