TEMPO.CO, Jakarta - Hari Air Sedunia pada 22 Maret diwarnai oleh ketidakadilan terhadap warga miskin kota. Di Jakarta, separuh warganya tidak memperoleh akses pelayanan air bersih. Jumlahnya, menurut PT Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya, mencapai 4 juta jiwa.
Wilayah paling parah berada di Kalideres dan Cengkareng, Jakarta Barat; serta Kamal Muara, Penjaringan, hingga Marunda, Jakarta Utara. Air bersih yang dimaksudkan adalah air bebas bakteri dan patogen.
Baca juga:
Satu dari 10 Penduduk Dunia Tak Miliki Akses ke Air Bersih
Dampak Krisis Air Bersih: Satu dari Lima Bayi Meninggal
Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, jutaan warga tersebut memanfaatkan air tanah dan sungai. Padahal, menurut studi Amrta Institute, yang melakukan penelitian air tanah dan sungai di DKI, 93 persen air sungai dan tanah di Jakarta terpapar bakteri Escherichia coli.
Jumlah bakteri tersebut mencapai 2 juta per 100 milimeter kubik air. Batas toleransi bakteri ini hanya 2.000 per 100 milimeter kubik. “Air PAM enggak ada. Air tanahnya bau tak sedap,” kata Misasri, 45 tahun, warga Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, kepada Tempo, pekan lalu.
Misasri harus berjalan kaki sekitar 3 kilometer untuk membeli air bersih dari pedagang air keliling. Harga air bersih per jerikan Rp 2.000.
Cerita Misasri dan ribuan warga lain menunjukkan bahwa pemerintah masih jauh dari memenuhi target bisa menyalurkan air bersih ke seluruh warga pada akhir 2019.
Sampai hari ini, ketika dunia memperingati Hari Air Sedunia, warga Jakarta masih mendapat pasokan air dari sumber yang terbatas.
Sebanyak 81 persen air di Jakarta berasal dari saluran Tarum Barat yang bersumber dari Waduk Jatiluhur. Dari kebutuhan air Jakarta sebanyak 21 ribu liter per detik, PT PAM Jaya baru bisa memasok 18 ribu liter per detik.
Direktur Utama PT PAM Jaya, Erlan Hidayat, mengatakan jumlah pasokan air tak bertambah sejak 1997. Padahal kebutuhan air di Ibu Kota akan melonjak mencapai 25 ribu liter per detik tahun depan.
“Bayangkan kalau jumlah air yang kita kelola masih sama dengan 20 tahun lalu,” kata dia. Kondisi itu diperparah oleh tingkat kebocoran pipa yang mencapai 50,6 persen akibat pipa yang sudah tua dan pencurian.
Warga Jakarta juga mengeluhkan harga air PAM yang mahal, Rp 8.359 per meter kubik. Sekadar perbandingan, harga air di Surabaya Rp 2.800 per meter kubik, tapi cakupan areanya mencapai 95,6 persen penduduk.
“Di Surabaya, pengelolaannya efektif karena tidak melalui perantara swasta,” kata peneliti air dari Amrta Institute, Nila Ardhianie, Selasa, 21 Maret 2017.
Tak cuma Jakarta, Kota Bekasi dan Kabupaten Tangerang mengalami nasib serupa. Sekitar 80 persen dari 2,6 juta warga Kota Bekasi belum mendapatkan pelayanan air bersih. Meski jaringan utama sudah terpasang di sejumlah wilayah utama, seperti Pondok Gede, Mustikajaya, dan Bantargebang, air belum bisa didistribusikan. Adapun di Kabupaten Tangerang, jumlahnya mencapai 74 persen dari 3,3 juta penduduk.
Simak juga:
Setengah Juta Keluarga Indonesia Krisis Air Bersih
2019, Seluruh Penduduk Nikmati Air Bersih
Warga Kota Bogor jauh lebih beruntung. Sudah 85 persen dari 1 juta penduduk Kota Hujan ini sudah tersambung dengan pipa air bersih. Hanya, menurut Direktur Teknik PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor, Syaban Maulana, air Sungai Cisadane yang menjadi bahan baku tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga.
Firdaus Ali, peneliti air dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Indonesia, menduga jumlah warga di Jabotabek yang belum mendapatkan pelayanan air bersih jauh lebih tinggi. “Dari data kami, jumlah keluhan pelanggan air berkutat pada ‘hanya dapat angin, bukan air’,” ujar pendiri Indonesia Water Institute itu.
AMRI MAHUB, EGI ADYATAMA (JAKARTA) | ADI WARSONO (BEKASI) | JONIANSYAH HARDJONO (TANGERANG) | SIDIK PERMANA (BOGOR)