TEMPO.CO, Jakarta - Hamka Haq, saksi ahli dalam sidang ke-16 kasus dugaan penodaan agama atas terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, mengatakan ayat-ayat dalam Al-Quran yang berkaitan dengan pemilihan tidak dipakai dalam pemilihan umum di Indonesia. Hamka adalah guru besar di UIN Makassar, yang menjadi anggota DPR dari PDIP dan anggota Dewan Penasihat MUI.
"Karena yang berlaku UU Pilkada, yang tidak ada bunyi mengatakan pilkada sah berdasarkan syariat masing-masing agama, maka jelas muslim bisa milih nonmuslim juga sebaliknya," kata Hamka saat bersaksi di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu, 29 Maret 2017.
Baca: Sidang Ahok, Kuasa Hukum Hari Ini Bakal Hadirkan 3 Saksi Ahli
Hamka mengatakan Undang-Undang Pilkada tidak mengandung unsur agama. Sehingga, seseorang yang memilih calon kepala daerah atau pemimpin yang tidak seiman itu diperbolehkan karena dijamin undang-undang.
Kuasa hukum Ahok, Humphrey Djemat, menanyakan soal fatwa dan hukum positif di Indonesia. Ini terkait sikap dan pendapat keagamaan yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia dalam menanggapi kasus Ahok.
Baca : Sidang Ahok, Ini Alasan Tim Kuasa Hukum Ajukan 15 Saksi Tambahan
Salah satu poinnya ialah Surat Al-Maidah ayat 51 menjadi salah satu dalil larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin. Selain itu, ulama wajib menyampaikan isi Surat Al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih pemimpin muslim adalah wajib. Dan setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surat ini sebagai panduan dalam memilih pemimpin.
Hamka menjelaskan, fatwa tidak termasuk dalam hukum positif Indonesia yang berupa Pancasila, UUD 1945 dan turunannya. Indonesia menganut negara hukum. Menurut Hamka, ayat Al-Quran dan hadis terbagi dalam tiga kategori. Pertama, ada ayat atau hadis yang berlaku secara otomatis karena dijamin berlakunya lewat UUD 1945. Salah satu contohnya adalah beribadah.
Baca: Sidang ke-15, Massa Kontra Ahok Makin Berkurang
Kategori kedua, Hamka menyebutkan ada ayat hukum dan hadis hukum yang berlaku karena diberlakukan sebagai bagian dari hukum positif Indonesia. "Contohnya UU tentang pernikahan. Ayat-ayat tentang nikah itu berlaku karena diberlakukan UU Perkawinan yang menyebutkan perkawinan sah dilakukan syariat agama masing-masing," kata Hamka.
Kategori terakhir adalah ayat atau hadis yang tidak diberlakukan karena tidak diterima sebagai bagian dari hukum. Misalnya, Surat Al-Maidah ayat 38 bahwa hukuman bagi orang yang mencuri adalah potong tangan. "Ini tidak berlaku di Indonesia karena di Indonesia menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," kata dia.
Baca: Ahok Hadiri Ulang Tahun Agung Laksono ke 68
Ayat tersebut, menurut Hamka, tidak berlaku di Indonesia meski diyakini kebenarannya. Hamka pun memberikan contoh, ada seorang koruptor yang bersiap menunggu hukuman 19 tahun penjara. Kemudian, ada yang mengatakan hakim dan jaksanya adalah muslim sehingga hukumannya sesuai Surat Al-Maidah ayat 38, yaitu potong tangan.
"Dijawab koruptor hukuman penjara, 'jangan bohongi saya pakai Al-Maidah 38 itu'. Kalau ada koruptor katakan itu bukan penistaan agama. Karena dia menegaskan hukumannya penjara. Mencuri menurut KUHP dipenjara," kata Hamka.
Simak pula : Rencana Aksi 313, Ketua PBNU Said Aqil: Ngapain Demonstrasi?
FRISKI RIANA
Video Terkait:
Sidang Ahok ke-8, Dua Kelompok Massa Tak Seramai Sebelumnya
Sidang Ahok, Dua Kelompok Massa Saling Beraksi