TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengatakan fenomena hujan es yang terjadi di Jakarta beberapa hari lalu berpeluang terjadi lagi, terutama selama musim transisi atau pancaroba. "Kalau kita lihat, kejadian-kejadian ini pada umumnya terjadi saat pancaroba. Biasanya terjadi pada Maret, April, dan Mei," ucap Andi di Jakarta, Rabu, 29 Maret 2017.
Hujan es di Jakarta terjadi pada Selasa kemarin. Fenomena ini terlihat di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Butir-butir es sebesar kerikil berjatuhan bersamaan dengan hujan lebat dan angin kencang. Durasinya hanya sekitar beberapa menit.
Baca: Hujan Es Guyur Jakarta, Warga Terkaget-kaget
Andi mengimbau masyarakat mewaspadai peristiwa serupa karena hujan es yang turun dalam ukuran cukup besar dapat merusak. Menurut dia, BMKG sudah mengeluarkan peringatan akan tanda-tanda alam tersebut dengan indikasi udara sehari sebelumnya terasa panas dan gerah.
Udara terasa panas dan gerah tersebut akibat adanya radiasi matahari yang cukup kuat disertai kelembapan yang cukup tinggi.
Indikasi lain, mulai pukul 10.00, terlihat tumbuh awan cumulus, yaitu awan putih yang berlapis-lapis. Di antara awan tersebut, ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepi sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi seperti bunga kol.
Tahap berikutnya, awan tersebut akan cepat berubah warna menjadi abu-abu atau hitam yang dikenal dengan awan cumulonimbus.
Baca: Hujan Es Landa Jakarta, Biasa Terjadi pada Masa Pancaroba
Biasanya, hujan yang pertama kali turun adalah hujan deras yang tiba-tiba. Apabila yang turun hujan gerimis, kejadian angin kencang tidak terjadi.
Jika dalam satu-tiga hari berturut-turut tidak ada hujan pada musim pancaroba, ada indikasi potensi hujan lebat yang pertama kali turun diikuti angin kencang, baik yang masuk ke kategori puting beliung maupun yang tidak.
Di samping itu, kejadian hujan es tersebut bersamaan dengan siklon tropis Debby yang terjadi di timur laut Australia, yang menyebabkan terjadi konvergensi dari Sumatera Selatan sampai Nusa Tenggara Timur.
"Ini yang membuat pumpunan awan menjadi sangat labil, kemudian menyebabkan hujan es," kata Andi.
ANTARA