TEMPO.CO, Jakarta - Sidang kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dinilai sebagai rekayasa politik belaka. Salah satu kuasa hukum Ahok, I Wayan Sudarta, mengatakan kasus yang menimpa kliennya adalah rekayasa politik “berbungkus” hukum.
"Ini 99,9 persen kasus politik. Suatu saat kasus ini akan dibongkar tuntas, siapa yang merekayasa," ujarnya kepada wartawan di Gedung Proklamasi 53, Jakarta Pusat, Jumat, 21 April 2017. Ia menilai, Ahok yang memperoleh angka 74 persen kepuasan kinerja dari warga DKI tidak bisa dikalahkan dengan kompetisi sehat.
Wayan melihat jaksa penuntut umum juga ragu-ragu memberikan tuntutan hukuman 1 tahun dengan 2 tahun percobaan. "Mereka sadar buktinya tidak ada. Kalau memang melawan hukum, kan tidak mungkin dituntut percobaan," katanya.
Wayan lalu merunut beberapa bukti yang diberikan jaksa selama persidangan. Dalam pasal 184 KUHAP, alat bukti yang dianggap sah terdiri atas keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan terakhir keterangan terdakwa.
Baca: Sidang Ahok, Fadli Zon Heran dengan Tuntutan Jaksa
"Dua belas saksi yang dihadirkan tidak berada di Pulau Seribu saat itu terjadi. Semua ahli tertelusuri punya kepentingan, surat MUI tidak sama nilainya dengan undang-undang dan tidak mengikat. Terakhir, Ahok hanya mengutip komentar yang didengar di Bangka Belitung," kata Wayan.
"Bagaimana bisa menyalahkan orang seperti itu tanpa tabayun?" katanya. Ia juga mempertanyakan proses cepatnya surat Majelis Ulama Indonesia terbit.
Terlepas dari proses hukum yang masih berjalan, Wayan menutup komentarnya dengan imbauan untuk menjalin kembali kerukunan pasca-pilkada. Wayan menekankan kasus di mana persidangan dapat ditekan masyarakat seperti ini harus diawasi agar tak terjadi lagi.
Pekan depan, pada 25 April 2017, Basuki Tjahaja Purnama dijadwalkan akan membacakan nota pembelaan atau pleidoi yang ia tulis sendiri. Tim kuasa hukumnya mengungkapkan Ahok ingin membuktikan tidak ada niat buruk dalam pidatonya di Kepulauan Seribu.
AGHNIADI