TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi Selamatkan Pulau Pari meminta Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menerima penangguhan penahanan terhadap tiga nelayan Pulau Pari yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan melakukan pungutan liar.
”Kami berani menjamin ketiga nelayan tidak akan melarikan diri karena mereka warga yang baik,” kata Ronald Siahaan, pengacara eksekutif nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dalam siaran tertulis, Rabu, 17 Mei 2017.
Ronald mengatakan pihaknya tidak setuju dengan tindakan jaksa yang menahan para nelayan. Sebab, pada tingkat kepolisian, ketiga nelayan mendapatkan penangguhan penahanan. “Mereka rutin melakukan wajib lapor tidak mengulangi perbuatannya. Tetapi jaksa secara paksa menahan ketiga nelayan,” ujarnya.
Baca: Terancam Digusur Swasta, Warga Pulau Pari Mengadu ke Ombudsman
Tim Advokasi Selamatkan Pulau Pari juga meminta Kejaksaan Negeri Jakarta Utara meneliti kembali berkas perkara ketiga nelayan dan berhati-hati menerapkan hukum dalam kriminalisasi nelayan Pulau Pari.
Pengacara publik lembaga bantuan hukum Jakarta, Matthew, sebelumnya telah mengirim surat permohonan untuk dilakukan gelar perkara ke Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Sebab, ia melihat tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan ketiga nelayan. “Kami berkesimpulan kasus ini dipaksakan kepolisian sehingga sudah seharusnya dilakukan penghentian perkara ini,” katanya.
Namun pihaknya terkejut ketika Kepolisian Resor Kepulauan Seribu melimpahkan berkas ketiga nelayan, yakni Mustaghfirin alias Boby, Bahrudin alias Edo, dan Mastono alias Baok, ke Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Setelah pelimpahan tersebut, jaksa menahan ketiganya.
Ketiga nelayan itu ditangkap Polres Kepulauan Seribu pada 11 Maret 2017. Mereka dituduh melakukan pungli dengan membebankan biaya sebesar Rp 5.000 kepada para wisatawan yang ingin masuk ke wilayah Pantai Pasir Perawan.
Baca: Konflik Tanah, Warga Pulau Pari Ditawari Duit Rp 20 Juta
Padahal pantai tersebut merupakan wilayah kelola bersama nelayan. Nelayan Pulau Pari bersama-sama membuka Pantai Perawan sebagai tempat wisata. Untuk menjaga kebersihan di sana, warga sepakat membebankan biaya Rp 5.000 ke wisatawan.
Uang tersebut dikelola bersama untuk membayar petugas kebersihan, membayar listrik penerangan, membangun sarana dan prasarana pantai, membangun tempat ibadah, serta menyantuni anak yatim. “Karena itu, kami menilai ada kekeliruan dan pemaksaan penerapan hukum dalam kasus ini,” ujar Tigor Hutapea, pengacara publik Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia.
FRISKI RIANA