TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Rosyid masih mengingat jelas buruknya sanitasi di wilayah RW 02, Duri Utara, Tambora, Jakarta Barat, dulu. Pria berusia 58 tahun itu menuturkan, sejak 1980 sampai pertengahan tahun lalu, pelbagai limbah rumah tangga menumpuk di saluran air daerah itu.
“Bahkan tinja juga ada. Bau tinja dan berbagai sampah itu menyengat dan menyebar ke mana-mana” ujar Rosyid, warga Duri Utara, kepada Tempo, kemarin.
Rosyid menuturkan saat itu banyak rumah tidak memiliki tangki septik (septic tank). Alhasil, masyarakat langsung membuang limbah rumah tangganya ke saluran air dan tanah. Air tanah di daerah itu pun tercemar bakteri E. coli, padahal sebagian besar masyarakat menggunakan air tanah untuk keperluan sehari-hari.
Baca: Pemerintah Siapkan 2 Zona Baru Pengelolaan Limbah di Jakarta
Tak mengherankan bila banyak warga di sana yang terkena diare. Berdasarkan data dari puskesmas setempat, pada 2015, misalnya, setiap bulan rata-rata terdapat 50 kasus diare.
Rosyid termasuk salah satu keluarga yang rumahnya tidak memiliki tangki septik. Namun, sejak Maret lalu, Ketua RW 02 itu, bersama masyarakat yang difasilitasi oleh Plan International Indonesia, Yayasan Pembangunan Citra Insan Indonesia (YPCII), SPEAK Indonesia, WIN Development, serta Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (YTBI), membuat instalasi pengolahan air limbah (IPAL) biofilter komunal atau IPAL Komunal.
IPAL Komunal ini berfungsi menampung dan mengurai limbah rumah tangga, seperti tinja dan air bekas cucian. Limbah rumah tangga yang diurai melalui IPAL Komunal aman bagi lingkungan dan bebas bau. “Air yang dibuang dari IPAL Komunal ke saluran air sudah jernih. Kadar bakterinya sudah memenuhi standar baku mutu air limbah,” ujar Wash Program Coordinator YPCII, Marjiyanto.
Marjiyanto menuturkan, meski limbah rumah tangga bisa ditampung dan diurai di IPAL Komunal, masyarakat tetap harus menguras fasilitas tersebut secara berkala. Sebab, jumlah penduduk yang memanfaatkan kedua IPAL mencapai 308 orang. “Frekuensi pengurasannya bisa enam bulan atau setahun sekali,” tuturnya.
Water Sanitation and Hygiene Advisor Plan International Indonesia, Silvia Devina, menuturkan pembuatan IPAL Komunal sangat berguna di daerah padat penduduk seperti di Duri Utara. Soalnya, banyak penduduk di hunian padat yang tak memiliki ruang untuk membuat tangki septik.
Baca: Jakarta Terancam Jadi Kubang Limbah
IPAL Komunal juga lebih unggul dibanding tiga teknologi pengolahan limbah lainnya, seperti tangki septik Silinder, Tripikon, dan Pinastik. Selain menggunakan IPAL Komunal, warga RW 02 di lima RT, RT 10, 11, 12, 13, dan 14 memanfaatkan tiga teknologi pengolahan limbah rumah tangga itu. “Ada 364 jiwa yang menerima manfaat dari teknologi itu,” tuturnya.
Deputi Gubernur Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Oswar Muadzin Mungkasa, menyatakan saat ini ada 500-800 ribu jiwa di Jakarta yang tidak memiliki tangki septik dan masih buang air besar sembarangan. Masyarakat yang masih memiliki masalah sanitasi itu mayoritas tinggal di pinggir sungai dan daerah padat penduduk. “Mereka masih berpikir, la ada sungai, ngapain juga buat tangki septik,” katanya.
Selengkapnya baca Koran Tempo
GANGSAR PARIKESIT