TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan penangkapan sejumlah tersangka atas dugaan ujaran kebencian bukan membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Menurut Martinus, penyebaran ujaran kebencian dan informasi salah harus dibatasi. "Kebebasan berpikir dan berekspresi memang harus dijaga, tapi penyebaran informasi salah juga harus dibatasi," kata Martinus di Mabes Polri, Jakarta, Selasa, 30 Mei 2017.
Baca: Polisi Tetapkan Tersangka Ujaran Kebencian @muslim_cyber1
Sebelumnya, Mabes Polri menangkap beberapa orang terkait penyebaran ujaran kebencian dan informasi salah di media sosial. Salah satunya Ahmad Rifai Pasra, yang dalam laman Facebooknya menuding peledakan bom di Kampung Melayu adalah rekayasa kepolisian.
Selain itu, kepolisian juga menangkap seorang berinisial HP atas dugaan penyebaran percakapan palsu antara Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono. Hal itu terkait dengan kasus percakapan berbau pornografi dengan tersangka pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab dan Firza Husen.
Direktur Tindak Pidana Siber Brigadir Jenderal Fadil Imran mengatakan penegakan hukum kepolisian harus selalu berdasarkan undang-undang. Seperti Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Anti-Diskriminasi Ras.
Kepolisian, kata Fadil, tidak sembarangan melakukan penindakan terhadap terduga pelaku penyebar ujaran kebencian dan informasi salah. "Kami pun tidak akan gegabah melakukan penegakan hukum," ucapnya.
Fadil memastikan kepolisian dapat membedakan ranah antara penegakan hukum dan kebebasan berpendapat. "Kalau tidak mengandung unsur pornografi, ancaman SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), tidak mungkin kita akan lakukan penegakan hukum," ujarnya.
Baca juga: Selain Ujaran Kebencian, Pelintiran Kebencian Juga Berbahaya
Fadil memperingatkan kepada masyarakat, media sosial bukanlah ranah pribadi, melainkan dunia nyata yang harus disertai tanggung jawab moral, sosial, dan hukum. "Bukan berarti polisi represif," katanya.
ARKHELAUS W.