TEMPO.CO, Jakarta - Tiga nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, menyangkal tudingan jaksa penuntut umum, yang menyebut mereka melakukan pungutan liar. "Peristiwa penangkapan tiga terdakwa penuh kejanggalan," kata koordinator tim hukum Selamatkan Pulau Pari, Tigor Hutapea, saat membacakan pembelaan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin, 12 Juni 2017.
Tiga nelayan yang menjadi terdakwa, yakni Mustaghfirin alias Boby, Mastono alias Baok, dan Bachrudib alias Edo. Menurut Tigor, ketiga warga Pulau Pari itu tidak bisa disebut melakukan pungutan liar. Alasannya, sebelumnya, pada 2010, Camat Kepulauan Seribu mengizinkan warga setempat mengelola Pantai Perawan di Pulau Pari.
Baca: 3 Nelayan Pulau Pari Disidang, Pengacara: Ini Kriminalisasi
Saat itu, kata Tigor, pemerintah mendorong agar warga Pulau Pari mengelola wisata rakyat, seperti yang dilakukan di Pulau Tidung. Pengelolaan wisata Pulau Pari dianggap dapat meningkatkan pendapatan warga setempat.
Warga pun bersepakat membersihkan semak belukar di Pantai Perawan dan membuka wisata rakyat. Setiap orang yang masuk dikenakan tarif untuk biaya pengelolaan, termasuk biaya kebersihan, senilai Rp 5.000.
Selain itu, Tigor menambahkan, warga setempat bergotong-royong mengelola wisata dengan membuat jasa travel, penginapan, dan kerajinan tangan. Karena itu, Tigor menyesalkan tudingan yang menyatakan warga Pulau Pari melakukan pungutan liar.
“Dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum tidak memenuhi syarat materiil atau tidak lengkap,” ujarnya.
Menurut Tigor, kasus ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap warga Pulau Pari, mengingat selama ini warga sedang bersengketa lahan dengan PT Bumi Pari Asri. Sebelumnya, perusahaan milik Pintarso Adijanto itu juga telah memenjarakan seorang nelayan bernama Edi Priadi, 62 tahun, yang dituding memasuki pekarangan tanah milik perusahaan.
PT Bumi Pari Asri, kata Tigor, mengklaim menguasai tanah di Pulau Pari secara sepihak tanpa sepengetahuan warga setempat. Padahal ada ribuan orang yang telah tinggal di pulau tersebut sejak awal 1900. “Mereka sempat memiliki surat girik, tapi ditarik oknum kelurahan,” ucapnya.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuding tiga terdakwa telah terbukti melakukan pungutan liar dan melanggar Pasal 368 Ayat 1 KUHP. Kasus ini dipersidangkan terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. "Kenyataannya, JPU tidak mampu merumuskan bagaimana, kapan, dan mengapa terdakwa memerintahkan anggotanya melakukan pungutan liar," tuturnya.
Baca juga: Nelayan Pulau Pari Serahkan Bukti Kepemilikan Tanah ke Ombudsman
Bagi tim kuasa hukum, Pantai Perawan juga belum masuk kawasan retribusi pemerintah daerah sesuai dengan peraturan daerah. Sebab, obyek retribusi adalah lokasi yang dikelola pemerintah. "Hingga saat ini, Pantai Pasir Perawan belum ditetapkan sebagai obyek retribusi sehingga pengelolaan bisa dilakukan pihak swasta atau warga," ucapnya.
AVIT HIDAYAT