TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Tim Kuasa Hukum Koalisi Selamatkan Pulau Pari, Tigor Hutapea, menganggap dakwaan yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU) kasus pungutan liar di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, janggal.
"Dakwaan yang disampaikan JPU tidak jelas, terdakwa melakukan apa, kapan, dan bagaimana," kata Tigor saat menyampaikan eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin, 12 Juni 2017.
Baca: Pengacara 3 Nelayan Terdakwa Kasus Pulau Pari Ungkap Kejanggalan
Seharusnya, kata Tigor, JPU merunut dengan jelas peran ketiga tersangka berbuat tindak pidana pungutan liar. Namun, yang terjadi, JPU bahkan tak bisa menjelaskan siapa berbuat apa dalam perkara tersebut. “JPU asal-asalan menuding klien kami tanpa bukti,” ujar Tigor.
Ketiga nelayan yang kini menjadi pesakitan itu adalah Mustaghfirin alias Boby, Mastono alias Baok, dan Bachrudin alias Edo. Mereka dituding polisi melakukan pungutan liar di Pantai Perawan, Pulau Pari. Polisi menangkap mereka melalui operasi tangkap tangan (OTT) beberapa bulan lalu.
Tigor menganggap kasus pungutan liar ini bagian dari kriminalisasi nelayan, mengingat selama ini warga sedang bersengketa lahan dengan PT Bumi Pari Asri. Perusahaan itu mengklaim memiliki 90 persen lahan di Pulau Pari. Bahkan sebelumnya seorang warga bernama Edi Priadi, 62 tahun, dipenjara karena dituduh memasuki pekarangan lahan perusahaan tanpa izin.
Menurut Tigor, dalam surat dakwaan, jaksa penuntut umum menyebutkan ketiga terdakwa melakukan pungutan liar. Pada saat bersamaan, JPU mengatakan ketiga nelayan itu melakukan pemerasan. "Padahal pungli dan pemerasan itu dua hal yang berbeda," ucapnya.
Tigor mempertanyakan konsistensi dakwaan JPU. Jaksa sebelumnya mendakwa ketiga nelayan itu dengan Pasal 368 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemerasan. “Mereka juga menyebut nelayan melakukan pungutan liar, tapi tak disebutkan pasal-pasal mengenai pungutan liar,” katanya.
Tigor lantas menjelaskan permasalahan di Pulau Pari. Pada 2010, ujar Tigor, ekonomi nelayan sempat memburuk karena bisnis budi daya rumput laut terus merugi. Pemerintah Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan kemudian menyarankan warga mengelola wisata.
Camat setempat mencontohkan kesuksesan pengelolaan wisata rakyat di Pulau Tidung. Pada 2013, Bupati Kepulauan Seribu juga mendorong warga mulai mengembangkan potensi wisata Pantai Perawan, Pulau Pari. Masyarakat kemudian secara gotong royong membuat kawasan desa wisata, khususnya di Pantai Perawan.
Masyarakat sepakat menarik retribusi dari pengunjung senilai Rp 5 ribu untuk pengelolaan pantai, kebersihan, air bersih, dan sebagainya. Pada 2015, perusahaan PT Bumi Pari Asri mengklaim menguasai 90 persen lahan Pulau Pari. Mereka berencana membuat resort dan akan mengelola Pantai Perawan.
Baca juga: Nelayan Pulau Pari Serahkan Bukti Kepemilikan Tanah ke Ombudsman
Bupati Kepulauan Seribu Budi Utomo, beberapa waktu lalu, justru berbalik menuding warga Pulau Pari. Dia menganggap aktivitas penarikan retribusi di Pantai Perawan tindakan ilegal. Polisi kemudian menggelar operasi tangkap tangan atas enam nelayan. Tiga orang dipidana dan sisanya dipulangkan.
AVIT HIDAYAT