TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memperingatkan tingginya tingkat penggusuran di Ibu Kota selepas masa libur Lebaran. Tren peningkatan penggusuran itu disebutkan terjadi setiap tahun.
“Karena itu diharapkan masyarakat berhati-hati dan selalu berkoordinasi dengan pemerintah setempat, seperti lurah dan camat, agar mengetahui apakah ada rencana penggusuran di wilayah tempat tinggal mereka,” kata pengacara publik LBH Jakarta, Alldo Fellix Januardy, kemarin.
Menurut dia, masyarakat berhak mendapat informasi yang transparan terkait dengan pelaksanaan program pemerintah. Relokasi masyarakat terdampak pembangunan, dia menambahkan, “Tidak dapat dilaksanakan dengan cara-cara yang melanggar hukum, seperti dengan pendekatan kekerasan melalui penggusuran paksa.”
Baca juga: Kampung Susun, Alternatif Pembangunan Kembali Kampung Akuarium
LBH Jakarta juga mengungkapkan temuannya atas 507 program dalam anggaran pemerintah Jakarta tahun ini, yang diduga menerapkan cara-cara penggusuran. Nilainya dirangkum dari semua wilayah Jakarta sebesar Rp 22,7 miliar.
Alldo mengatakan nilai anggaran itu belum termasuk operasional serta pengadaan barang dan jasa dari satuan pelaksana penggusuran, yaitu Satuan Polisi Pamong Praja. Pun belum dengan hibah untuk Polri dan TNI yang juga kerap dilibatkan dalam penggusuran di Jakarta. “Tingginya angka penggusuran paksa menunjukkan Jakarta belum menjadi kota yang berhasil melindungi hak masyarakat miskin kota,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menyatakan pemerintahannya hendak menciptakan Jakarta yang lebih manusiawi dan tertib. Dia tak memperdebatkan angka anggaran yang diungkap LBH Jakarta. “Data LBH bolehlah naik dua kali lipat," ucapnya di Balai Kota.
Buat dia, membiarkan ada sekelompok masyarakat tinggal di bantaran sungai serta kolong jalan tol dan jembatan justru tidak manusiawi. “Justru lebih manusiawi kita sediakan tempat," tuturnya.
Djarot meminta masyarakat Jakarta tidak salah membedakan penggusuran dan relokasi. Menurut dia, bantaran-bantaran sungai serta kolong-kolong jalan tol dan jembatan bukan lokasi yang bisa ditinggali. Mereka yang mencoba bermukim di sana pasti akan dilarang. “Tapi, kalau mereka sudah lama tinggal di sana hingga sudah anak-beranak dan waktu itu terjadi pembiaran, ada program berupa relokasi," kata Djarot.
WULAN | WURAGIL