TEMPO.CO, Jakarta - Nasib Khairul, 16 tahun, tak sama seperti bocah ibu kota kebanyakan. Di usianya yang masih belia, Khairul tak lagi mengenyam pendidikan sejak kelas dua sekolah dasar (SD). Karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, ia memilih menjadi seorang pengamen di kawasan wisata Monumen Nasional, Jakarta Pusat.
"Saya sudah enggak mau sekolah lagi. Lebih baik cari uang," ujar Khairul saat dijumpai di kegiatan Jambore Sahabat Anak di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan, Sabtu, 22 Juli 2017.
Baca: Hari Anak Nasional, 800 Anak Marjinal Ikut Jambore di Ragunan
Meskipun bertahun-tahun mengais rezeki dengan bernyanyi, nasib Khairul tak berubah. Bahkan, Khairul justru merasakan kerasnya hidup di jalanan. Demi uang Rp 50 ribu yang bisa ia kantongi setiap harinya, Khairul tak jarang harus berkelahi dengan rekan sebayanya atau bahkan pendengar suara sumbangnya.
Selama menjadi pengamen, Khairul tak jarang menerima bogem mentah. Menurut Khairul, serangan itu ia dapatkan karena perbuatannya sendiri. Terlalu lama di jalan membuat Khairul cepat naik pitam. Tak suka dengan pelanggannya, dia langsung berang. Bahkan sering juga bentakannya itu berujung pada keributan.
Baca: Hari Anak Nasional, Anak Marjinal Rentan Mendapat Kekerasan
"Saya suka marah sama orang yang saya 'ngameni' (pendengar nyayian pengamen). Mereka suka 'songong' enggak menghargai saya, dia diam aja dan enggak kasih uang," ujar Khairul menunjukkan wajah kesalnya.
Bergabung dalam bimbingan belajar (bimbel) yang dibentuk oleh komunitas Sahabat Anak tak membuat Khairul berubah total. Butuh waktu tahunan hingga ia sadar bahwa kekerasan bukanlah cara yang baik untuk menunjukan emosinya. Perlahan Khairul menyadari bahwa jalanan bukan tempat yang pas untuk mencari uang.
Baca: Forum Anak Nasional di Pekanbaru Mengangkat Isu Kebhinekaan
Karena bertahun-tahun ikut bimbel Sahabat Anak, Khairul hampir setiap tahun ikut kegiatan Jambore Sahabat Anak. Tahun ini, Khairul bagian dari 800 peserta lain yang ikut belajar tentang cara melindungi diri sendiri. Sesuai tema jambore, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan.
Koordinator Jambore Sahabat Anak Saskia Risita Indrasari mengatakan komunitasnya tengah gencar berkampanye larangan memberikan uang pada anak kaum marjinal. Menurut Saskia, larangan memberi uang jadi salah satu cara memutus mata rantai anak jalanan. Kebiasaan memberikan uang pada anak akan melanggengkan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).
Baca: Jokowi Dijadwalkan Rayakan Hari Anak Nasional di Riau
"Kalau turun ke jalan, anak-anak ini bisa dapat ratusan ribu dalam sehari yang mana arti ya mereka enggak ada alasan dong untuk enggak di jalan," ujar Saskia.
Pola pikir tersebut, kata Saskia, akhirnya bisa menimbulkan tingginya angka putus sekolah. Menurut Saskia, cara untuk mengurangi jumlah anak jalanan harus memotong sumber mata rantainya, yaitu si pemberi uang yang selama ini dipikir sebagai sumber pendapatan.
"Makanya kami kampanyekan kalau melihat anak-anak di jalan, jangan kasih uang, lebih baik jadi sahabat anak," ujar Saskia.
Baca: Banyak Perempuan di Bawah Umur yang Terlalu Diberdayakan
Meski masih tidak mau melanjutkan pendidikan, paling tidak Khairul paham bahwa jalanan buka tempat mencari uang. Kini, Khairul memutuskan untuk bekerja menjadi seorang pelayan di sebuah restoran di kawasan Pasar Senen. Di tengah kesibukannya bekerja, Khairul menyempatkan hari liburnya untuk tetap bergabung di bimbel Sahabat Anak.
Sejak bekerja ia mampu mengumpulkan uang Rp 1,6 juta setiap bulannya. Uang itu ia pakai untuk memenuhi kebutuhannya serta kedua orangtuanya yang sampai saat ini tidak memiliki pekerjaan. Para relawan beberapa kali memaksa Khairul untuk ikut ujian Paket C, namun sampai saat ini keinginan itu belum muncul di benak Khairul.
LARISSA HUDA