TEMPO.CO, Jakarta - Muannas Al Aidid, pengacara yang melaporkan Jon Riah Ukur Ginting alias Jonru Ginting, diperiksa selama sembilan jam oleh penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya pada Senin, 4 September 2017. Ia baru keluar dari ruang pemeriksaan pada pukul 21.30 WIB. "Diperiksa selama sembilan jam dan diberi 14 pertanyaan beranak-pinak," kata Muannas melalui telepon, Senin malam.
Dalam pemeriksaan itu, Muannas menjelaskan kepada polisi mengenai maksud hate speech (ujaran kebencian) yang menjadi dasar pelaporannya terhadap Jonru. Dia juga membeberkan bukti-bukti yang bisa digunakan dalam delik tindak pidana ujaran kebencian.
Wakil Ketua Badan Advokasi Hukum Partai NasDem DKI itu menyatakan ada empat persoalan yang menjadi fokus dari barang bukti. Salah satunya, kata dia, posting-an Jonru yang mengarah pada sentimen etnis, yaitu Indonesia dijajah Belanda dan Jepang pada 1945, tapi pada 2017 dijajah etnis Cina. "Itu kan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Bukan kritik," ujarnya.
Baca: Muannas Jelaskan Mengapa Laporkan Jonru ke Polisi
Selain itu, tutur Muannas, ada posting-an Jonru yang mengarah pada sentimen agama, yaitu penjajahan di Indonesia dilakukan nonmuslim. Menurut Muannas, isi posting-an itu tendensius dan bisa membenturkan agama.
Baca Juga:
Muannas juga menemukan posting-an Jonru yang mengandung sentimen terhadap individu. Jonru, kata dia, pernah mengajak umat Islam agar tidak salat di Masjid Raya Istiqlal karena imamnya adalah Quraish Shihab. "Termasuk juga Pak Jokowi dimuat dalam akun itu soal asal usulnya. Itu bagian-bagian yang kami kira masuk rumusan tindak pidana," ucapnya.
Akun media sosial Jonru Ginting, menurut Muannas, memuat posting-an bermuatan SARA yang sudah akut. Karena itu, ia tidak akan menanggapi orang-orang yang mempersoalkan pelaporannya. "Karena ujaran kebencian itu bukan delik aduan. Tanpa dilaporkan, negara seharusnya sudah bekerja dan memproses pelakunya," kata Muannas.
FRISKI RIANA