TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Nusa Tenggara Barat, Mufti Djusnir, mengaku kasus narkoba baru, seperti metilon, yang marak belakangan ini mengingatkan dirinya dengan kemunculan pil ekstasi pertama kali pada 1996 lalu.
“Ini seperti kasus Zarima Mir, 17 tahun lalu,” ujar Mufti kepada Tempo pertengahan November 2013.
Memang, perdebatan hukum soal ekstasi kala itu tak jauh berbeda dengan soal metilon sekarang ini. Ketika seorang selebritas, Zarima Mir, ditangkap polisi karena membawa 29.677 butir ekstasi, kasus ini sempat mandek karena pil ekstasi belum diatur dalam UU Narkotika.
Mufti—yang kala itu menjabat Kepala Unit Pengawasan Mutu Lembaga Farmasi Dinas Kedokteran Kesehatan Polri—akhirnya berhasil meyakinkan majelis hakim bahwa zat aktif methylenedioxymethamphetamine atau MDMA dalam ekstasi bisa berbahaya bila dikonsumsi.
Dengan argumentasi itu, Zarima divonis bersalah dan dihukum 4 tahun penjara. Barang bukti puluhan ribu ekstasi dimusnahkan.
Kini Mufti mau mengulang sejarah. Dia kembali menjadi saksi untuk kasus metilon pertama yang disidangkan dengan UU Narkotika di Pengadilan Negeri Mataram. Kepada majelis hakim, dia menjelaskan bahwa metilon adalah zat turunan dari katinona atau cathinone. Dalam UU Narkotika, katinona masuk daftar narkotik golongan 1.
Dia juga menegaskan bahwa metilon memiliki efek dan dampak negatif seperti narkotik lain. Bahkan tingkat bahaya metilon, yang masuk level 4, lebih tinggi daripada ekstasi—yang masuk level 3. Beberapa negara di Eropa dan Amerika sudah melarang peredarannya.