TEMPO Interaktif, Jakarta:Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLK) menyatakan keputusan Gubernur DKI Jakarta menaikkan tarif taksi hingga 38 persen tidak rasional. Jika faktor kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jadi dasar perhitungan, menurut YLKI, kenaikan tarif taksi tidak akan melebihi 10 persen. "Kami keberatan dengan besaran kenaikan yang secara faktual tidak rasional," kata Koordinator Advokasi Transportasi YLKI, Tulus Abadi, di Jakarta, kemarin. Seperti diwartakan, Gubernur DKI, telah mengumumkan secara resmi tarif taksi baru yang berlaku per April 2005. Tarif buka pintu (flag fall) taksi naik dari Rp 3.000 menjadi Rp 4.000. Sementara tarif jalan naik dari 1.300 per kilometer menjadi Rp 1.800 per kilometer. Menurut YLKI, dari sisi bisnis, tarif lama masih menguntungkan operator taksi. Buktinya, banyak perusahaan taksi baru yang bermuculan. Perusahaan taksi lama pun gencar meremajakan armadanya dengan tipe mobil terbaru. "Ini menandakan tarif taksi masih menggiurkan dari sisi bisnis," kata Tulus. YLKI juga meminta konsep tarif taksi diubah. Mestinya, menurut YLKI, persentase tarif buka pintu yang ditinggikan. Sedangkan tarif per kilometernya direndahkan. Misalnya, tarif buka pintu dinaikkan jadi Rp 10.000. Model itu banyak dipakai di negara lain, seperti Thailand dan Korea Selatan. Sistem itu, menurut YLKI, akan menguntungkan pengemudi sekaligus memberi akses kepada penumpang jarak pendek yang biasanya ditolak pengemudi. Dalam siaran persnya, YLKI juga menyatakan, bisnis taksi di Jakarta sudah mendekati persaingan yang tidak sehat. Hal itu berdampak pada turunnya kualitas layanan operator taksi kepada konsumen. Saat ini, menurut YLKI, tidak lebih dari 10 perusahaan taksi yang dipercaya konsumen. "Padahal, di Jakarta ada 43 perusahaan taksi," ujar Tulus.Menurut Tulus, buruknya pelayanan taksi juga terjadi karena jumlah armada taksi tidak berimbang lagi dibandingkan jumlah penumpang yang memerlukannya. Saat ini, di Jakarta ada 30 ribu armada taksi yang beredar. Padahal, jumlah palanggan taksi di Jakarta tidak naik secara berarti. "Bahkan jumlah penumpangnya menurun," kata Tulus.Tidak jelasnya kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menurut YLKI, juga ikut memperburuk pelayanan taksi. Sejak 1999, Pemerintah DKI memang tidak lagi mengeluarkan izin untuk perusahaan taksi baru. Untuk mengakali hal itu, banyak pengusaha taksi yang mengajukan izin ke wilayah penyangga Jakarta, seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor. Tapi, faktanya, 100 persen wilayah operasi itu tetap di Jakarta. "Itu merugikan Jakarta. Anehnya, Pemerintah DKI membiarkan kondisi itu berlanjut," ujar Tulus. YLKI juga mendesak agar Dewan Transportasi Kota (DTK) lebih memberi pertimbangan yang lebih makro kepada Gubernur. DTK diminta tidak hanya memberi pertimbangan dari sisi ekonomi bisnis pertaksian. Jajang Jamaludin